Motto

Hidup adalah pembelajaran tak kenal henti....

Wednesday, May 1, 2013

PLURALISME DAN GENDER

Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, yaitu pluralism, sehingga memiliki arti :
a.  Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural.
b.  Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
c.  Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.

Secara  umum  gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari tingkah lakunya[1]. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa genjer adalah suatu konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati  tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan ekonomi.

A.      Materi Pokok
1.      Pluralisme
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa Inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah :
 "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/ pembiasan)."
          Pluralisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plu·ra·lis·me adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya); Secara istilah pluralisme adalah pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan keadaban yang disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan Rahmat Tuhan bagi kehidupan.[2]
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, yaitu pluralism, sehingga memiliki arti :
a.  Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural.
b.  Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
c.  Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris, dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.[3]
Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [4]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dika­takan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah die­laborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konse­ptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama  dengan apa yang dikemu-kakan Aristoteles. Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia. Sebelum pertimbangan-pertimbangan atau interrest-interrest yang bersifat politis, ideologis dan ekonomis menyertai kehidupan seseorang, dalam kehidupan praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani ke­hidupan yang pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel dalam pola interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di atas lebih menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang sering disebut seba­gai bangsa paling majemuk di dunia. Di negara dengan jumlah pen­duduk lebih dari 200 juta jiwa ini, berdiam tidak kurang dari 300 etnis dengan identitas kulturalnya masing-masing, lebih dari 250  bahasa di­pakai, beraneka adat istiadat serta beragam agama di anut.  Kendati demikian kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama dan kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama.
Konflik sendiri sebagaimana dipaparkan di bagian lain tulisan ini, merupakan keniscayaan. Keberadaannya senantiasa mengiringi masyarakat plural. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di sini memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja tidak muncul kepermukaan karena diredam sebagaimana selama ini efektif dimainkan oleh rezim pemerintah Orde Baru, tetapi keberadaannya tak akan hilang sama sekali. Jika keadaan memungkinkan konflik terselubung (hidden conflict) itu akan meledak seperti saat ini. Dengan kata lain, akibat ter­sumbatnya konflik secara tidak proporsional maka akan lahir konflik yang distruktif dan berpotensi disintegratif bagi kelangsungan sebuah bangsa. 
Jika pluralisme itu given, semen­tara konflik adalah sesuatu yang inhern  di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik  yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas),   ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif.  Memahami pluralisme meski melibat­kan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.
Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar  mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan plu­ralisme agama. Menurutnya,  “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pe­meluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan per­samaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”[5]. Melalui pe­mahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewu­judkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance) sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde baru, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance). Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak menonjolkan agamanya di hada­pan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen, maka jangan menon­jol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim, demikian pula sebaliknya.  Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.  Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[6]
Meskipun konsep toleransi positif seperti di atas terbilang konsep lama, tetapi implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survey mutaakhir yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survey yang dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[7] Hal ini bisa dilihat dari besarnya responden (85,7%) yang tidak setuju anggota keluarganya menikah dengan non-muslim, anggota keluarga boleh menikah dengan non muslim, asal masuk Islam lebih dulu (88%). Sementara terhadap  pertanyaan; dibanding umat lain, umat Islam adalah sebaik-baik umat  sebanyak 92,5% karenanya non-Islam harus masuk agama Islam (58,7%). Tidak boleh mengucapkan salam “assalamualaikum” dan selamat hari natal (“selamat natal”) kepada non-Muslim (73,5%) dan setiap Muslim berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada orang-orang non muslim (73%).[8] Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas pendidikkan saja -sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.

2.      Gender
Pengertian Gender
Gender  berasal dari bahasa inggris yang berarti “jenis kelamin”(John M.echlos dan Hasan Sadhily, 1983:256). Secara  umum  gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari tingkah lakunya[9]. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa genjer adalah suatu konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati  tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan ekonomi.
Ketimpangan tersebut terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan timbal balik yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan adanya pembagian peran, dan kekuasaan antara perempuan dabn laki-laki. Dalam kehidupan sosial misalnya, berkembangan anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan,karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya belaka. Produk atau konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:
1)  Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan  perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya kesempatan perempuan untuk meneruskan   sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki.Di sektor  pekerjaan, marginalisasi ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu; peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan  perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan.
2)   Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menempatkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi yang  sejajar dengan laki-laki.
3)    Stereotipisasi perempuan, yakni percitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnya perempuan sering kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.
4)   Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan. 
5)   Beban kerja yang proporsional, pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya memarginalkan peran perempuan yang seharusnya diperlukan oleh manusia yang memiliki hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja meminggirkan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan : selain  menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya seperti memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya. 

Dalam wacana hubungan Islam dan  kesetaraan Gender perempuan, Islam  memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kualitas manusia dalam Islam terletak pada prestasi seseorang  mengenal perbedaan jenis kelamin. Kedudukan laki-laki    dan perempuan adalah sama dihadapan Allah (QS.4: 3). Islam mengakui kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptaka dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan atas yang lain.
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Pandangan-pandangan yang mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan sering dinilai sebagai pandangan ajaran islam, adalah tidak lain bersumber dari budaya patriak yang menempatkan posisi sosial-politik laki-laki diatas perempuan, yang kemudian menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legimitasi untuk mendominasi atas peran perempuan. Dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan patriaki banyak dijumpai dalam khazanah hukum Islam (fikih). Reorientasi pemahaman agama (Islam) harus dilakukan  supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada proporsi  benar. [10]
Gender tidak bersifat universal, tetapi hirearki gender dapat dikatakan universal, oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep gender secara garis besar. Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hirearki gender dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1)    Teori adaptasi awal
Teori adaptasi awal menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan awal dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut :
·    Berburu sangat penting bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.
·    Laki-lakilah yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
·    Perempuan tergantung pada laki-laki untuk mendapatkan daging.
·    Laki-laki berbagi daging buruannya terutama dengan isterinya dan anak-anaknya.
·    Sekali pola pembagian peran berdasarkan jenis kelamin itu terbentuk, tidak  berubah hingga sekarang.
2)    Teori teknik lingkungan
Teori ini berdasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori ini menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi masalah sejak dulu, dalam konteks ini subordinasi perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.
3)    Teori  sosiobiologi
Menurut teori ini laki-laki muncul akibat  seleksi alam terutama ketahanan tubuh.
4)    Teori sruktural
Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus Universal. Salah satu kelompok teori yang masuk golongan struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik   dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik. Kelompok lain dari teori struktural berpendapat bahwa subordinasi itu struktural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender.pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal  antara perempuan dengan alam dan laki-laki dengan budaya.

[1] Sumber:http://definisi-pengertian blogspot.com//2010/05/pengertian-gender html
[2] Kamaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, “Pendidikan Kewarganegaraan (civic education). op.cit .hlm. 200.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Polemik_pluralisme_di_Indonesia (diakses , Kamis, 02 Agustus 2012 , 15. 25)
[4] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm, 7.
[5] Alwi Shihab, Islam…,340
[6] Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris,  ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002), 239-249.
[7] Lihat “Kekerasan Keagamaan di Kalangan Muslim: Mempertimbangkan Faktor Pendidikkan” dalam Buletin Islam & Good Governance, Edisi XIII, September (Jakarta, PPIM UIN Jakarta, 2006), 1 – 8.
[8] Ibid.
[9] Sumber:http://definisi-pengertian blogspot.com//2010/05/pengertian-gender html
[10]A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, “Pendidkan Kewarganegaraan : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani” ,(Jakarta: Prenada Media Group, 2008)  hlm.127-129.

Wednesday, March 27, 2013

PROSES/FUNGSI ADMINISTRASI PENDIDIKAN


Proses Administrasi Pendidikan Meliputi Hal-hal berikut.
-PERENCANAAN (planning)
-PENGORGANISASIAN (organizing)
-PENGGERAK  (Actuating)
-PENGAWASAN (Controling)

A.  PERENCANAAN (planning)

Suatu perencanaan yang matang diperlukan dalam setiap kegiatan yang hendak dikerjakan. Tanpa perencanaan yang matang, kita tidak dapat mengharapkan kegiatan yang akan kita laksanakan dapat berjalan lancar serta mencapai tujuan. Perencanaan merupakan suatu langkah persiapan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan tertentu. Proses penyusunan rencana yang harus diperhatikan adalah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam mencapai tujuan, yaitu dengan mengumpulkan data, mencatat, dan menganalisis data serta merumuskan keputusan.[1]
Perencanaan merupakan salah satu syarat mutlak bagi setiap kegiatan administrasi. Perencanaan merupakan kegiatan yang harus dilakukan pada permulaan dan selama kegiatan administrasi itu berlangsung. Di dalam setiap perencanaan ada dua faktor yang harus diperhatikan, yaitu faktor tujuan dan faktor sarana, baik sarana personel maupun material.[2]
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa perencanaan adalah proses mempersiapkan seperangkat putusan bagi perbuatan di masa datang. Pengertian ini memberi makna bahwa, suatu rancangan itu disusun sebagai persiapan untuk melakukan serangkaian proses kegiatan, dan penyusunan rancangan itu sendiri merupakan proses awal dari serangkaian kegiatan.[3] Sedangkan dalam buku Pengelolaan Pendidikan, merencanakan adalah membuat suatu target-target yang akan dicapai atau diraih di masa depan.[4]
Untuk menyusun sesuatu rancangan, berdasarkan pengertian tersebut, maka pengambilan keputusan (decision making) menjadi bagian penting yang tidak boleh diabaikan. Pembuatan keputusan yang merupakan proses yang mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam pembuatan perencanaan.[5] Adapun dalam pengertian lain proses pembuatan keputusan adalah suatu usaha yang rasional dari administrator untuk mencari tujuan-tujuan dari unit yang menjadi tanggungjawabnya.[6]
Pola pengambilan keputusan yang dapat dilakukan adalah pengumpulan data yang diperoleh dari pencatatan dan penelitian pengembangan data, penganalisisan data, pengambilan keputusan, pengoperasian data, dan penentuan data operasional.[7]
Perencanaan meliputi kegiatan menetapkan apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapai, berapa lama, berapa orang yang diperlukan, dan berapa banyak biayanya. Perencanaan ini dibuat sebelum suatu tindakan dilaksanakan.
Rudyard Kippling menyatakan cara cara yang paling lumrah untuk penyusunan rencana adalah dengan mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan apa, dimana, bilamana, siapa, mengapa dan bagaimana
1.  Apa
Pertanyaan apa menyangkut yaitu apa yang dikerjakan dan sumber daya apa yang dibutuhkan.
Kegiatan yang dikerjakan dapat digolongkan pada:
a.  Kegiatan pokok (langsung ditujukan pada pencapaian tujuan organisasi)
b.  Kegiatan penunjang (mendukung usaha pencapaian tujuan)
c.  Kegiatan periferal (tidak menunjang secara langsung tetapi sering tidak bisa dihindarkan)

Perlu diketahui dengan jelas sumber daya apa yang diperlukan, dari mana sumbernya, jumlah dan mutunya.

2.  Dimana
Pertanyaan di mana berkaitan dengan pemanfaatan lokasi tempat berbagai kegiatan akan berlangsung. Paling sedikit empat hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
a.  Efisiensi, tempat kerja yang dimiliki dimanfaatkan semaksimal mungkin
b.  Aksesabilitas, mudah dicapai oleh berbagai pihak (satuan kerja atau orang tertentu)
c.  Kemudahan dalam menyediakan sarana dan prasarana kerja
d. Tersedianya tenaga kerja yang memenuhi persyaratan guna menjamin pencapaian efesiensi, efektivitas, dan produktivitas.

3.  Bilamana
Pertanyaan bilamana berkaitan dengan waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan. Seorang perencana dituntunt untuk memiliki “sense ot timing” yang tingi. Kemampuan itu tercermin dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan “bilamana”
Pentingnya jawaban tersebut terlihat pada dua hal:
a. Waktu adalah salah satu komoditi yang paling berharga yan dimiliki organisasi. Tidak ada waktu yang terbuang dann pelaksanaan berbagai kegiatan tepat waktu
b. Pemilihan waktu yang tepat dapat menghindari pemborosan yang seharusnya tidak terjadi juga pemanfaatan peluang yang mungkin timbul

4.  Siapa
Jawaban terhadap pertanyaan siapa berarti menggambarkan pola manajemen sumber daya manusia dalam organisasi yang bersangkutan. Pola itu seharusnya meliputi:
a.  Analisis kebutuhan tenaga kerja untukk kurun waktu yang berlakunya rencana   sesuai persyaratan secara kualitatif atau kuantitatif
b.  Metode dna teknik pengadaan tenaga kerja yang akan digunakan
c.  Metode dan teknik seleksi
d.  Kebijakan pengupahan/penggajian
e.  Penempatan yang rasional dan objektif
f.   Pola pembinaan karier
g.  Kebijakan tentang pemutusan hubungan kerja

5.  Bagaimana
Yakni bagaimana caara orang-orang satuan kerja dalam organisasi menyelenggarakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk menyelesaikannya. Semua orang atau satu kerja harus mengetahui data dan teknik yang terbaik dalam menyelesaikan tugas juga memahami dan mentaati ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Ketentuan itu diformalisasikan dalam bentuk tertulis, lebih-lebih dalam organisasi yang lebih besar.
Kejelasan jawaban terhadap pertanyaan ‘bagaimana’ mempunyai dua makana:
a. Untuk kepentingan operasional (kejelasan teknik-teknik pelaksanaan tugas)
b. Untuk kepentingan koordinasi (adanya pembagian tugas yang jelas di antara orang-orang dan satuan kerja. Kesemuanya bergerak sebagai satu kesatuan dengan tidak mengurangi sifat spesifik masing-masing.

6.   Mengapa
Pertanyaan mengapa berarti berusaha menemukan pembenaran yang meyakinkan tentang jawaban-jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan lain (apa, di mana, bilamana, dan siapa) dalam proses perencanaan. Juga untuk melihat secara teliti apakah dalam rencana yang disusun terdapat ada hal-hal yang belum tercantum atau yan sebenarnya tidak perlu dicantumkan serta adakah kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam rencana tersebut.
Perencanaan berhubungan dengan penetapan tujuan organisasi, penentuan sumber, dan faktor pendukung dan faktor penghambat dalam mencapai tujuan, dan penentuan langkah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.[8]

Ciri-ciri rencana yang baik
Ada sepuluh ciri rencana yang baik, yakni:

Rencana harus mempermudah tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Perencanaan sungguh-sungguh memahami hakikat tujuan yang ingin dicapai.
Pemenuhan persyaratan keahlian teknis yakni dibuat oleh orang-orang yang ahli (dalam satu tim) sehingga rencana dibuat secara terpadu dan komprehensif
Rencana harus disertai oleh suatu rincian yang cermat.
Keterkaitan dengan pelaksanaan.
Sederhana dalam hal teknik penyusunannya, bahasa yang digunakan, sistematikanya,, formatnya,  penekanan prioritas sehingga dapat dipahami oleh orang lain terutama para pelaksana.
Fleksibel
Rencana memberikan tempat pada pengambilan resiko.
Rencana yang pragmatis.
Rencana sebagai instrumen peramalan masa depan.
Dalam menentukan penganalisisan data perlu diperhatikan : [9]
1.  Perumusan tujuan kegiatan. Tujuan merupakan bagian dari perencanaan yang mengendalikan kegiatan. Perumusan tujuan ini akan menjadi tepat bila diambil dari hasil analisis yang akurat sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Hal yang perlu diingat dalam merumuskan tujuan adalah mengutamakan sifat praktis, jelas, dan tegas.
2.    Penentuan yang lengkap kegiatan untuk mencapai tujuan. Semua aspek yang tercakup dalam ruang lingkup ini harus terarah dan tidak boleh terpisah antara satu aspek dengan aspek lainnya. Masing-masing dari aspek tersebut harus saling menunjang dan saling melengkapi untuk meningkatkan efisiensi pencapaian tujuan. Bila tidak demikian, maka tujuan yang diharapkan tidak akan tercapai.
3.   Penentuan jangka waktu yang diperlukan. Jangka waktu yang diperlukan bergantung pada sifat dan jenis tujuan dan ruang lingkup yang ditetapkan. Penetapan jangka waktu ini harus memperhitungkan luasnya ruang lingkup kegiatan sehingga dapat mencapai tujuan. Bila jangka waktu yang ditentukan itu terbatas, maka ruang lingkup yang disediakan harus sesuai dengan jangka waktu yang ada. Menurut jangkauan waktunya perencanaan dapat dibagi menjadi peencanaan jangka pendek (satu minggu, satu bulan, dan satu tahun), perencanaan jangka menengah yaitu perencanan yang dibuat untuk jangka waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan waktu jangka panjang dibuat untuk jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun. Pembagian waktu ini bersifat kira-kira.[10]
4.    Menetapkan metode alat yang akan digunakan. Metode yang digunakan harus efektif, mudah, ringan, tidak membutuhkan waktu lama, tidak memboroskan waktu dan dana, serta berisiko ringan. Penetapam metode ini dipengaruhi pula oleh pikiran, tenaga, waktu, ruang, dana yang tersedia, jika semua itu dalam keadaan terbatas sebaiknya menggunakan metode yang mudah, sederhana, ringan, dan tidak mengandung risiko. Adapun yang termasuk alat adalah tenaga dan dana yang tersedia. Dalam hal ini, alat yang digunakan harus sesuai dengan metode yang ditentukan dan memudahkan pencapaian tujuan sehingga mampu memberikan hasil semaksimal mungkin.
5.     Merumuskan penilaian untuk mencapai tujuan (Evaluasi). 
Kegiatan ini ditujukan untuk menilai proses kerja secara keseluruhan, yaitu meliputi pengontrolan terhadap keserasian dan ketepatan alat yang dipergunakan serta kemampuan setiap orang yang terlibat dalam mewujudkan kerja. Selain itu, kegiatan ini diperlukan untuk menentukan apakah tujuan yang telah dirumuskan dapat dicapai dengan mempergunakan metode, alat, dan cara yang telah ditetapkan.
Syarat-syarat perencanaan
Syarat-syarat perencanaan adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan harus didasarkan atas tujuan yang jelas.
2. Bersifat sederhana, realistis, dan praktis.
3. Terinci, memuat segala uraian serta klasifikasi kegiatan dan rangkaian tindakan sehingga mudah dipedomani dan dijalankan.
4. Memiliki fleksibilitas sehingga mudah disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi dan situasi sewaktu-waktu.
5. Terdapat perimbangan antara bermacam-macam bidang yang akan digarap dalam perencanaan itu, menurut urgensinya masing-masing.
6. Diusahakan adanya penghematan tenaga, biaya, dan waktu serta kemungkinan penggunaan sumber-sumber daya dan dana yang tersedia dengan sebaik-baiknya.
7.   Diusahakan agar sedapat mungkin tidak terjadi adanya duplikasi pelaksanaan.[11]
Jadi, Perencanaan (planning) adalah aktivitas memikirkan dan memilih rangkaian tindakan-tindakan yang tertuju pada tercapainya maksud-maksud dan tujuan pendidikan.

Jenis-jenis Perencanaan Pendidikan
a.    Menurut Besarnya (Magnitude)
1.     Perencanaan Makro
Perencanaan makro adalah perencanaan yang menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh, tujuan yang ingin dicapai dan cara-cara mencapai tujuan itu pada tingkat nasional. Rencana pembangunan nasional dewasa ini biasanya meliputi rencana dalam bidang ekonomi dan sosial.
Perencanaan makro berusaha menjawab pertanyaan antara lain:
(a)   Apakah tujuan pendidikan nasional.
(b)   Pendekatan apa yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut
(c)   Lembaga pendidikan apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
(d) Bagaimana seharusnya organisasi pendidikan diatur sehingga dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut.
(e) Program-program apakah yang perlu diadakan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut.
(f) Sumber-sumber apakah yang dapat dipakai untuk menunjang program-program tersebut. 
(g)  Apakah kriteria keberhasilan usaha pendidikan itu.
Di pandang dari sudut perencanaan makro, tujuan yang harus dicapai negara (khususnya dalam bidang peningkatan SDM) adalah pengembangan sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga pembangunan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif pendidikan harus menghasilkan tenaga yang cukup banyak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sedangkan secara-kualitatif harus dapat menghasilkan tenaga pembangunan yang terampil sesuai dengan bidangnya dan memiliki jiwa Pancasila. Untuk melaksanakan fungsi perencanaan makro ini, strategi pendidikan hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut:
(a) Tujuan pendidikan nasional telah dirumuskan dengan jelas. Tujuan ini dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
(b) Pemerintah memegang peranan utama dalam pengambilan keputusan dan menciptakan mekanisme kerja yang efektif.
(c)  Sumber-sumber pembiayaan harus dimobilisasikan dari sektor yang ada.
(d) Prioritas harus disusun, baik yang berkenaan dengan bentuk, tingkat dan jenis pendidikan.
(e)   Alokasi biaya harus disediakan menurut prioritas yang telah ditetapkan.
(f)  Penilaian yang berkesinambungan harus selalu dilaksanakan dan program direvisi berdasarkan penilaian itu.
(g) Pelaksanaan pendidikan mendapat latihan sesuai dengan tugas yang akan dikerjakannya.


2. Perencanaan Messo
Kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada tingkat makro, kemudian dijabarkan ke dalam program-program yang berskala kecil. Pada tingkat ini perencanaan sudah lebih bersifat operasional disesuaikan dengan, departemen atau unit-unit (intermediate unit).
Pertanyaan yang perlu dijawab dalam perencanaan meso mempunyai kesamaan dengan pertanyaan untuk tingkat makro, tetapi lebih terperinci dan kebebasannya dibatasi oleh apa yang telah ditetapkan dalam perencanaan tingkat makro.
1.     Perencanaan Mikro
Perencanaan mikro diartikan sebagai perencanaan pada tingkat institusional dan merupakan penjabaran dari perencanaan tingkat meso. Khususan-kekhususan dari lembaga mendapat perhatian, namun tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam perencanaan makro ataupun meso. Contoh perencanaan mikro, yaitu kegiatan belajar mengajar.
b.     Menurut Tingkatannya
1) Perencanaan Strategik (Renstra)
Perencanan strategik disebut juga perencanaan jangka panjang. Strategi itu menurut R.C. Murdick J.E. Ross (1983) d iartikan sebagai konfigurasi ten tang hasil yang diharapkan tercapai pada masa depan. Dapat juga disebut konsepsi hari depan. Bentuk konfigurasi terungkap berdasarkan (1) ruang lingkup, (2) hasil persaingan, (3) target, dan (4) penataan sumber – sumber.
2) Perencanaan koordinatif (managerial)
Sesuai dengan namanya, perencanaan koordinatif ditujukan untuk mengarahkan jalannya pelaksanaan, sehingga tujuan yang telah ditetapkan itu dapat dicapai secara efektif dan efisien. Perencanaan koordinatif (managerial) biasanya sudah terperinci dan menggunakan data statistik. Namun demikian kadang-kadang juga menggunakan pertimbangan akal sehat. Perencanaan ini mempunyai cakupan semua aspek operasi suatu sistem yang meminta ditaatinya kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pada tingkat perencanaan strategik.
3) Perencanaan Operasional
Perencanaan operasional memusatkan perhitungan pada apa yang akan dikerjakan pada tingkat pelaksanaan di lapangan dari suatu rencana strategi. Perencanaan ini bersifat spesifik dan berfungsi untuk memberikan petunjuk konkret tentang bagaimana suatu program atau proyek khusus dilaksanakan menurut aturan, prosedur, dan ketentuan lain yang ditetapkan secara jelas sebelumnya. Itulah sebabnya rencana operasional ini telah dijabarkan dan diterjemahkan ke dalam data kuantitatif yang dapat diukur dan biasanya dipergunakan juga dimensi uang. Dengan demikian, rencana operasional mudah diukur, peranan keberhasilan unit-unit mudah dibandingkan dan sekaligus dapat dijadikan ukuran keberhasilan. Artinya, rencana operasional berfungsi sebagai instrumen yang cukup halus dan tajam untuk mengenai keadaan waktu lampau dan bisa akan dijadikan alat atau teknik perencanaan.
c. Menurut Jangka Waktunya
1) Perencanaan jangka pendek
Perencanaan jangka pendek adalah perencanaan tahunan atau perencanaan yang dibuat untuk melaksanakan dalam waktu kurang dari 5 tahun, sering disebut rencana operasional.
2) Perencanaan Jangka menengah
Perencanaan jangka menengah mencakup kurun waktu pelaksanaan 5-10 tahun.
3) Perencanaan Jangka Panjang
Perencanaan jangka panjang meliouti cakupan waktu di atas 10 tahun sampai 25 tahun.[12]


B. PENGORGANISASIAN (organizing)

    Pada dasarnya, pengorganisasian termasuk dalam kegiatan penyusunan rencana untuk menciptakan hubungan kerja antar personal dalam suatu kegaiatan organisasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fungsi pengorganisasian merupakan fungsi perencanaan. Dalam perencanaan dilakukan pengelompokkan bidang-bidang kerja dalam ruang lingkup kegiatan tertentu. Pengelompokan bidang kerja ini harus dapat menciptakan hubungan kerja yang jelas agar antara satu bidang dengan bidang lainnya serta masing-masing bidang tersebut saling melengkapi sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tujuan yang diharapkan dapat tercapai.[13]
Sebelum membahas lebih jauh, berikut ini akan diuraikan definisi dari organisasi :

      Organisasi adalah kegiatan menyusun struktur dan membentuk hubungan-hubungan agar diperoleh kesesuaian dalam usaha mencapai tujuan bersama. (Prof. DR. Oteng Sutisna, MSc. Ed, Administrasi Pendidikan DasarTeoritis untuk Praktek Profesional, hlm.174)

     Organisasi adalah sistem kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. (DR. Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, hlm. 24)

    Organisasi adalah aktivitas menyusun dan membentuk hubungan sehingga terwujudlah kesatuan usaha dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan. (Drs. Ngalim Purwanto, MP, Administrasi dan Supervisi Pendidikan,  hlm.   16)

    Organisasi adalah setiap sistem kerja sama yang dijalankan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. (The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern,   hlm.  56).[14]

    Pengorganisasian merupakan aktivitas menyusun dan membentuk hubungan-hubungan kerja antara orang-orang sehingga terwujud suatu kesatuan usaha dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.[15]
Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan, dan mendistribusikan pekerjaan, wewenang dan sumber daya diantara anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.[16] Di dalam pengorganisasian terdapat adanya pembagian  tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab secara terinci menurut bidang-bidang dan bagian-bagian, sehingga terciptalah adanya hubungan-hubungan kerja sama yang harmonis dan lancar menuju pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.[17]
Definisi yang disebutkan di atas hanyalah sekedar contoh karena masih banyak definisi lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa pada dasarnya semua definisi organisasi memiliki pengertian yang sama, yaitu suatu kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Kerja sama tersebut hanya dapat terwujud bila orang-orang yang terlibat dalam organisasi saling berkomunikasi antara satu dengan lainnya dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Selain itu, beban tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman mereka. Dengan adanya komunikasi dan keselarasan di antara mereka maka tujuan organisasi dapat tercapai.
Pengorganisasian sebagai fungsi administrasi pendidikan menjadi tugas utama bagi para pemimpin pendidikan termasuk kepala sekolah. Di dalam kegiatan sekolah terdapat berbagai macam jenis pekerjaan yang memerlukan kecakapan dan keterampilan dan tanggungjawab yang berbeda-beda. Keragaman tugas tersebut tidak mungkin hanya dipikul oleh seorang pemimpin.  Dalam hal inilah terletak bagaimana kecakapan kepala sekolah mengorganisasi guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sehingga terciptanya adanya hubungan kerja sama yang harmonis dan lancar.[18]
Yang perlu diperhatikan dalam pengorganisasian antara lain ialah bahwa pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab, hendaknya disesuaikan dengan pengalaman, bakat, minat, pengetahuan, dan kepribadian masing-masing orang yang diperlukan dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.[19]
Fungsi organisasi dapat diartikan bermacam-macam:



Organisasi dapat diartikan sebagai memberi struktur, terutama dalam penyusunan/penempatan personel, pekerjaan-pekerjaan, material, dan pikiran-pikiran dalam struktur itu.
Organisasi dapat pula ditafsirkan sebagai menetapkan hubungan antara orang-orang.
Organisasi dapat juga diartikan semata-mata mengingat maksudnya yakni sebagai alat untuk mempersatukan usaha-usaha untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan.[20]

Prinsip-prinsip organisasi
Organisasi yang baik hendaklah memiliki ciru-ciri atau sifat-sifat sebagai berikut:
1.   Memiliki tujuan yang jelas
2.   Tiap anggota dapat memahami dan menerima tujuan tersebut
3.   Adanya kesatuan arah
4.   Adanya kesatuan perintah (unity of command)
5.   Adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab masing-masing anggota.
6.  Adanya pembagian tugas atau pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan, keahlian, dan bakat masing-masing.
7. Pola organisasi hendaknya relatif permanen dan struktur organisasi disusun sesederhana mungkin.
8.    Adanya jaminan keamanan dalam bekerja (security of tenur)
9.    Adanya gajih yang setimpal sehingga dapat menimbulkan gairah kerja.
10.Garis-garis kekuasaan dan tanggungjawab serta hierarkhi tata kerjanya jelas tergambar dalam struktur organisasi

Organisasi memiliki berbagai fungsi di antaranya adalah: 
    Menetapkan bidang-bidang kerja, metode dan alat yang dibutuhkan, serta personal yang dibutuhkan. Membina hubungan antara personal yang terlibat, tanggung jawab, wewenang, hak dan kewajiban mereka sehingga mempercepat tercapainya tujuan organisasi. Adapun asas dalam organisasi, di antaranya adalah:

1. Organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, perluasan aktivitas yang mengharuskan penambahan jumlah satuan kerja hanya dilakukan bila tidak dapat ditampung dalam satuan kerja yang ada.
2. Pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja. Pengelompokan beban tugas yang sejenis harus dihubungkan dengan volume kerja. Beban kerja setiap satuan kerja harus memiliki batas-batas yang jelas dan sebanding pada tiap-tiap tingkatnya.
3. Organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab. Dengan demikian, pimpinan organisasi hanya melakukan tugas yang penting saja. Setiap anggota melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan beban tugas masing-masing.
4.  Organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol. Rentangan kontrol ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat pekerjaan, jarak antara unit yang dikontrol, volume tugas dan stabilisasi organisasi.
5.  Organisasi harus mengandung Kesatuan perintah. Kesatuan perintah ini harus jelas antara pimpinan organisasi dengan anggota organisasi sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kerja.
6. Organisasi harus fleksibel dan seimbang. Dalam arti bila terjadi perubahan atau penambahan volume kerja maka struktur organisasi harus disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. (DR. I ladari Navvavvi, 31-35)

Disamping prinsip dan fungsi di atas, kelancaran jalannya organisasi dipengaruhi pula oleh sikap dan sifat kepemimpinan serta human relation yang berlaku didalamnya. Human Relation adalah inti kepemimpinan, kepemimpinan adalah inti manajemen dan manajemen adalah inti administrasi.[21]
Tipe atau bentuk organisasi
Secara umum tedapat tiga macam yakni;
1.    Line Organization (organisasi garis)
Garis otoritas dan para manajer menjadi saluran perintah. Ciri-cirinya:
a. Organisasi berukuran kecil
b. Jumlah karyawan sedikit
c. Pemilik biasanya manajer tertinggi
d. Hubungan kerja bersifat langsung dan saling kenal
e. Spesialisasi pengetahuan dan keterampilan pelaksana masih rendah
f.  Alat yang digunakan sederhana dan jumlahnya sedikit
g. Produksi yang dihasil belum beraneka ragam.

2.    Line and staff organization (organisasi garis dan staf)
Selain otoritas garis yang menjadi saluran perintah manajer garis ada juga otoritas staf. Staf hanya bertugas melayani atau memberi nasehat kepada manajer garis (tidak ke bidang operasional). Ciri-ciri utama:
a.  Organisasi skala besar
b.  Terlibat dalam pelaksanaan berbagai kegiatan yang kompleks
c.  Jumlah pekerja relatif banyak dengan kepemilikan pengetahuan dan keterampilan yang beraneka ragam
d.  Hubungan kerja bersifat tidak langsung karena oragnisasi besar dan kadang lokasi yang berbeda
e. Adanya tingkat spesialisasi manajerial dan teknis operasional yang tinggi dengan kegiatan yang beraneka ragam.

3.    Functional organization (organisasi fungsional)
Dalam organisasi ini pekerjaan dibagi-bagi menjadi fungsi-fungsi yang dilakukan seorang tenaga kerja. Untuk mengawasi bagaimana fungsi-fungsi itu dilakukan maka diadakan pengawas-pengawas khusus. setiap pegawai diawasi oleh beberapa orang pengawas. Ciri utamanya antara lain:
a.   Tidak terlalu menggunakan kriteria ukuran besar kecilnya organisasi
b. Kegiatan organisasi dilakukan ole orang yang memiliki keahlian dengan tingkat spesialisasi yang tinggi
c.   Jenjang karier para anggota tidak terikat pada pangkat dan jabatan struktural
d.  Orientasi ilmiah lebih menonjol karena kebebasan bertindak dikalangan anggota lebih besar
e.   Pengendalian pimpinan tidak terlalu kuat[22]

C.  PENGGERAK  (Actuating)
Menggerakkan (Actuating) menurut Terry (1977) berarti merangsang angota-anggota kelompok melaksanakan tugas-tugas dengan antusias dan kemauan yang baik. Tugas menggerakkan dilakukan oleh pemimpin, oleh karena itu kepemimpinan kepala daerah dan kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting menggerakkan personel melaksanakan program kerja sekolah. menggerakkan adalah tugas pemimpin, dan kepemimpinan.
Menggerakkan menurut Keith Davis ialah kemampuan pemimpin membujuk orang-orang mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan penuh semangat. Jadi, pemimpin menggerakkan dengan penuh semangat, dan pengikut juga bekerja dengan penuh semangat.[23]
Sondang P. Siagian (1985:129) keberatan menggunakan istilah Actuanting, karena baginya Actuanting berarti menggerakkan dari belakang. Bagi Sondang P. Siagian istilah yang paling tepat menggambarkan fungsi penggerakan dalam arti pemberian motif, adalah motivasi. Secara implisit motivating telah tercakup adanya usaha untuk mensinkronisasikan tujuan organisasi dan tujuan-tujuan pribadi dari para anggota organisasi.
Terry (1977) menjelaskan bahwa actuanting merupakan usaha untuk menggerakkan anggota kelompok sedemikian rupa sehingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran organisasi. Actuanting berarti usaha mendapatkan hasil dengan pengerakan orang lain. Lemahnya kinerja suatu organisasi antara lain adalah disebabkan lemahnya kepemimpinan dalam organisasi itu, idikatir lemahnya kepemimpinan antara lain adalah ketidakmampuannya menggerakkan potensi sumber daya organisasi yang ada. Para personel tidak akan bekerja secara maksimal jika arahan dari pemimpinnya tidak jelas mau kemana organisasi ini dibawa. Jadi, penggerakan yang dilakukan oleh pemimpin adalah sebagai pemicu bagi anggota organisasi untuk bekerja dengan baik dan benar.[24]
Prinsip Pokok Human Relation
Agar para bawahan dapat digerakkan secara efektif, kondisi kerja yang bersifat teknis fisik harus dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan yang menonjolkan pentingnya pengakuan atas harkat dan martabat manusia dalam organisasi. Pertimbangan tersebut diistilahkan dengan “the ten commandment of human relations, yakni:
1.   Sinkronisasi antara tujuan organisasi dengan tujuan individu para anggota organisasi yang bersangkutan
2.     Suasana kerja yang menyenangkan
3.     Hubungan kerja yang serasi
4.     Tidak memperlakukan bawahan sebagai mesin
5.     Pengembangan kemampuan bawahan sampai tingkat yang maksimal
6.     Pekerjaan yang menarik dan penuh tantangan
7.     Pengakuan dan penghargaan atas prestasi kerja yang tinggi
8.     Tersedianya saran dan prasarana kerja yang memadai
9.     Penempatan tenaga kerja yang tepat
10.   Imbalan yang setimpal dengan jasa yang diberikan
Faktor-faktor yang diperlukan dalam penggerakkan
Untuk berhasilnya penggerakan tergantung kepada faktor-faktor dibawah ini:
1.  Kepemimpinan yakni kemampuan seorang manajer untuk menggerakkan orang lain agar supaya berusaha dengan ikhlas untuk mencapai tujuan
2.  Sikap dan moril. Sikap adalah cara memandang hidup, suatu cara berpikir, berperasaan dan bertindak. Sedangkan moral adalah kondisi mental yang memungkinkan orang-orang yang memegang teguh kebenaran. Sikap dan moral adalah suatu kesatuan
3. Tata hubungan. Komunikasi adalah menyampaikan isi/pesan kepada bawahan dalam rangka menggerakkan pegawai untuk melaksanakan suatu pekerjaan
4.  Perangsang. Insentif adalah sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan seseorang bertindak
5. Supervisi. Supervisi berbeda dengan pengawasan. Supervisi penting agar pegawai senang bekerja. Tugas supervisor cukup berat. Ia harus dapat menemukan kesalahan dan memperbaikinya.
6. Disiplin. Disiplin adalah latihan pikiran, perasaan, kehendak dan watak, latihan pengembangan dan pengendalian perasaan, pikiran dan kehendak dan untuk melahirkan tingkah laku yang teratur.[25]

D.      PENGAWASAN (Controling)
Secara umum pengawasan dikaitkan dengan upaya untuk mengendalikan, membina dan pelurusan sebagi upaya pengendalian mutu dalam arti luas. Melalui pengawasan yang efektif, roda organisasi, implementasi rencana, kebijakan, dan upaya pengendalian mutu dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Pengawasan ialah fungsi administratif yang mana setiap administrator memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut oteng sutisna mengawasi ialah proses dengan mana administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya.[26]
Sedangkan Hadari Nawawi menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan mengukur tingkat efektifitas kerja personal dan tingkat efesiensi penggunaan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Kemudian Johnson mengemukakan bahwa pengawasan ialah sebagai fungsi sistem yang melakukan penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan tujuan sistem hanya dalamm batas-batas yang dapat ditoleransi. Artinya pengawasan sebagai kendali performan petuugas, proses dan output sesuai dengan rencana, kalaupun ada penyimpangan hal itu diusahakan agar tidak lebih dari batsa yang dapat ditoleransi.[27]
Karena itu pengawasan dapat diartikan sebagai salah satu kegiatan untuk mengetahui realisasis perilaku personel dalam organisasi pendidikan. Prinsip-prinsip pengawasan yang perlu diperhatikan menurut  Massie adalah:
1.   Tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang menentukan keberhasilan
2.   Penagwasan harus menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan
3.   Harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi dan lingkungan
4.   Cocok dengan organisasi pendidikan
5.   Merupakan kontrol diri sendiri
6.   Bersifat langsung yaitu pelaksanaan kontrol ditempat pekerja, dan
7.   Memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personel pendidikan.[28]
Ada dua syarat utama yang harus ada sebelum seorang manajer dapat merancang atau melaksanakan. Syarat tersebut adalah:
1.   Pengawasan memerlukan rencana
2.   Pengawasan memerlukan dukungan struktur organisasi
Proses pengawasan
A. A Rachmat, M.Z dalam bukunya Manajemen suatu pengantar, ada tiga tingkat proses pengawasan[29]
1.    Menetapkan standar pelaksanaan pekerjaan
2.    Pengukuran dna penilaian pelaksanaan npekerjaan standard
3.  Tindakan perbaikan dari penyimpangan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan segala kegiatan, kebijaksanaan serta hasil kerja yang tidak sesuai dengan rencana atau standar.
Urutan dalam langkah kegiatan tindakan koreksi ini adalah:
1.   Menghayati masalah-masalah yang dihadapi
2. Mencari kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi atau memperbaiki adanya kesalahan
3.   Mengadakan penilaian terhadap berbagai kemungkinan tersebut
4.   Menetukan cara-cara untuk mengadakan koreksi yang paling tepat
Pada umumnya terdapat enam bentuk titik-titik kritis dari pengawasan, yaitu:
1.   Physical standard (standar fisik): material, pegawai yang bekerja, barang-barang yang dihasilkan.
2.    Cost standard (standar biaya). Berapa standar biaya untuk pelaksanaan pekerjaan
3.  Capital standard (standar modal). Misalnya berapakah besar modal yang diperlukan untuk mengadakan investasi
4.  Revenue standard (standar hasil). Misalnya berapa rupiah yang diperoleh perjam, berapa unit perjam dapat diselesaikan
5. Program standard (standar program). Dalam pelaksaan program harus diniliai berdasarkan standar program yang dibuat
6.  Intangible standard (standar nilai yang tidak bisa diraba). (kegiatan, semangat) para pegawai pendapat langganan atas produk
Bidang-bidang pengawasan
1.  Management of personel (pengelolaan personalia). Yang pertama diawasi adalah struktur organisasi,, kemudian terhadap policy. Juga terhadapp prosedur, apakah orang-orang yang menduduki jabatan sesuai dengan keahliannya, apakah kualifikasi yang diperlukan sesuai dengan sesuai dengan kenyataan. Tidak ketinggalan juga terhadap penyeleksian, training, dan motivational control.
2.  Product (produk). Salah satu cara dengan research and development, dan pengawasan terhadap product line. Product line adalah rentetan produk yang dihasilkan di mana produk-produk tersebut mempunyai hubungan satu dnegan yang lain.
3.  Finance (keuangan). Pengawasan ini meliputi terhadap:
a.  Cost of operation dengan standard cost
b.  Private investment termasuk investasi gedung, sarana dan prasarana dan sebagainya
c. Liquid (cash),  yang didasarkan pada budget dari penerimaan dan pengeluaran dalam satu waktu tertentu dengan tujuan agar dapat diketahui ketersediaan uang kas untuk membiayai kegiatan yang dilaksanakan
4. Control of over all performance (proses kerja)
Pengawasan ini  meliputi usaha keseluruhan dari sebuah organisasi, bukan pada tiap-tiap bagian/unit. Sebab perlu diadakannya pengawasan ini adalah:
a. Adanya over all planning yanbg mengikat setiap aktivitas dalam organisasi ke arah tujuan yang telah ditetapkan untuk menjamin terealisasinya tujuan dan rencana-rencana yang telah ditetapkan
b. Adanya rencana yang sedemikian penting hingga dibutuhkan suatu central control untuk kepentingan perusahaan
c. Adanya desentralisasi dalam organisasi yang dapat menimbulkan unit-unit bersifat semi autonomy menjadi full autonomy
5. Quality of management (kualitas pengelolaan)
Pengawasan ini khusus kepada mutu manajemen (bukan terhadap data yang menggambarkan penyimpangan rencana). Pengawasan ini terdiri dari:
a. Indirect control (pengawasan tidak langsung)
Menganalisis gejala-gejala yang tidak diingini dengan meneliti sebab-sebabnya pada orang-orang yang bertanggung jawab dan melaksanakan perbaikan sedemikian rupa sehingga gejala itu tidak terulang kembali.
b. Direct control (pengawasan langsung)
Pada pengawasan tidak langsung yang dicari adalah orangnya, sedangkan pada pengawasan langsung yang dicari adalah prinsip atau cara-cara pengelolaannya.[30]
Tindakan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh staf dan anggota/individu-individu organisasi itu perlu dilaksanakan oleh pimpinan organisasi. Pengawasan dilaksanakan dalam rangka mengetahui apakah  suatu program kegiatan telah berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan.
Tahapan untuk mengadakan tindakan pengawasan dapat ditempuh:
1. Mengukur kegiatan pada tingkat kesesuaiannya
2. Membandingkannya dengan standar yang telah menjadi ketetapan dan kesepakatan.
3. Upaya pelurusan penyesuaian tidak menyimpang berbeda dengan standard pokoknya.[31]
Pengawasan bukanlah dasar atau jalan bagi pemimpin untuk memberi hukuman pada bawahannya, tetapi pengawasan sebagai dasar bagi pemimpin untuk menentukan kebijakan dan mengambil keputusan yang strategis membawa organisai ke arah yang lebih berkualitas dan lebih baik.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut Oteng Sutisna berpendapat bawa tindakan pengawasan terdiri dari tiga langkah universal, yaitu:
1.        Mengukur perbuatan
2.   Membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada
3.        Memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan.

Jadi, prinsip-prinsip pengawasan adalah:
1.    Strategi menentukan keberhasilan dengan mengukur perbuatan
2. Membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada yang menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam memcapai tujuan
3.    Responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi dan lingkungan
4.   Cocok dengan organisasi pendidikan dengan memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personel pendidikan
5.    Memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan.[32]


[1] Drs. Yusak Burhanuddin. 1998. Administrasi Pendidikan. Bandung : CV Pustaka Setia. Hlm 51
[2] Drs. M. Ngalim Purwanto, MP. 1995. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 15
[3] Drs. Ahmad Rohani HM dan Drs. H. Abu Ahmadi. 1991. Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 12
[4] Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan.2008. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Jurusan Administrasi Pendidikan. Hal 92
[5] Ibid. Drs. Yusak Burhanuddin.
[6] Op.cit. Drs. Ahmad Rohani HM dan Drs. H. Abu Ahmadi. Hal 12-13
[7] Op.cit. Drs. Yusak Burhanuddin.
[8] Drs. Muhammad Yuseran, M. Pd. 2010. Diktat DAMP. Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
[9] Op.cit. Drs. Yusak Burhanuddin.
[10] DR. H. Syaiful Sagala, M.Pd. 2006. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Hal 47
[11] Op.cit. Ngalim Purwanto. Hal 15
[12] DR. Nanang Fattah. Landasan Manajemen Pendidikan. Penerbit PT Remaja Rosdakarya Bandung. Hlm. 54 -60
[13] Op.cit. Drs. Yusak Burhanuddin
[14] Ibid
[15] Op.cit. Ngalim Purwanto. Hal 16
[16] Op.cit. Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan. Hal 92
[17] Opcit. Ngalim Purwanto. Hal 16
[18] Ibid. Ngalim Purwanto. Hal 16
[19] Ibid
[20] Ibid. Hal 17
[21] Ibid. Hal 17-18
[22] Op.cit. Drs.Muhammad Yuseran, M.Pd. 2010. Diktat DAMP. Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
[23] Op.cit. Dr. H. Syaiful Sagala.
[24] Ibid.
[25] Op.cit. Drs.Muhammad Yuseran, M.Pd. 2010. Diktat DAMP. Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
[26] Op.cit. Dr. H. Syaiful Sagala.
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Op.cit. Drs.Muhammad Yuseran, M.Pd. 2010. Diktat DAMP. Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
[30] Op.cit. Drs.Muhammad Yuseran, M.Pd. 2010. Diktat DAMP. Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
[31]Ibid
[32] Ibid