Motto

Hidup adalah pembelajaran tak kenal henti....

Sunday, October 12, 2014

SUNNATUT TADAWUL (KETENTUAN PERGILIRAN)


Pernahkah kita berfikir bahwa dalam sejarah, kita menemukan bergilirnya setiap bangsa memimpin sebuah peradaban. Mulai dari peradaban Yunani, Persia, dan Islam hingga barat sekarangpun semuanya dipergilirkan, bahkan dalam kehidupan pribadi masing-masing, “diri kita sendiri” setiap waktu, tahun, bulan, detik, memiliki giliran masing-masing untuk berada pada titik lemah, kebahagian, penderitaan, cobaan, kesenangan, kemudian manusia yang tumbuh dari kecil, besar, tua, lalu mati dan lain sebagainya semuanya akan dipergilirkan.

Seperti malam yang bertukar siang. Atau seperti Kering kerontang musim kemarau yang berganti basah musim penghujan. Atau seperti air laut, ada saat-saat surut dan ada masanya air itu pasang. ini semacam siklus kehidupan. Bahwa roda kehidupan dunia sepanjang sejarahnya terus berputar tiada henti. Sejarah telah melemparkan manusia ke langit kebesaran, dan sebagiannya dilindas rodanya dengan kejam, kemudian kaidah pergiliran itu berlaku, orang-orang yang tadinya diatas tiba-tiba harus bergelimpangan dibawah, dan mereka yang tadinya berdarah-darah di bawah sekarang berkibar di puncak gunung kejayaan.

Untuk apa?

Apakah untuk menangisi kekalahan, seperti tumpah ruahnya kesedihan para sahabat saat mengalami kekalahan pada perang uhud dalam bentuk isak tangis dan derai air mata?

 Padahal Allah swt telah mengingatkan :
“dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih, sebab kamulah yang  lebih tinggi jika kamu beriman. Jika kamu tersentuh kekalahan (musibah), maka luka ( musibah) yang sama juga menimpa kaum yang lain. Demikianlah hari-hari (kemenangan) kami pergilirkan diantara manusia”.(Qs. ali Imran: 140)

Berbicara soal sunnatut tadaawul, teringat dengan kisah Nabi Yusuf as. Tumbuh dalam dekapan hangat kasih sayang orang tuanya. Lalu dilemparkan ke dalam sumur oleh sauadara-saudara yang memendam bara iri dan dengki. Kemudian diselamatkan oleh sekelompok orang dan dijual sebagai budak. Ia menjalani masa-masa remajanya di tengah keluarga seorang pembesar Mesir. Lalu dipenjara karena mempertahankan kesuciannya dari godaan istri pembesar Mesir itu . Hingga kemudian dibebaskan dan menjadi perdana mentri. Begitulah Nabi Yusuf. Dari terdzalimi sampai menjadi orang yang berkuasa.

Kalau saja kita mau merenungi kembali, Allah SWT telah membuka begitu banyak celah pembebasan yang dibuka Allah SWT kepada kita, dan celah itu bisa berupa harapan yang dapat mengembalikan rasa percaya diri kita untuk bangkit kembali. Allah SWT akan mengembalikan harapan tersebut ke dalam jiwa sahabat-sahabat Baginda Muhammad SAW, setelah kalah dari perang Uhud. Dan selanjutnya celah yang lain adalah merubah diri, merubah seluruh instrument kepribadian kita, mulai dari bagian terkecil, diri, hingga bagian terbesar, masyarakat. Pada diri pun dimulai dari instrument yang paling halus;   emosi, perasaan, hati, akal hingga raga.

Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaaan suatu kaum, kecuali bila kaum itu yang merubah apa-apa yang ada dalam dirinya.” (Q.S. Ar-Ra’du, 14-11).

Sesungguhnya pada dua celah ini, tersimpan kunci dinamika gerak sejarah kehidupan manusia, yang tak pernah mati hingga kiamat. Ini adalah ‘kemungkinan-kemungkinan’ yang dijadikan Allah SWT sebagai peluang bagi kita untuk hadir kembali di gelanggang sejarah. Masalahnya, maukah kita memanfaatkan peluang itu?

Friday, October 10, 2014

EDISI PAHLAWAN

Dalam semangat kepioniran, ada rindu yang tak pernah selesai dari sebuah penantian panjang akan datangnya momentum kepahlawanan setiap saat. Para pahlawan itu seperti berdiri di sini, di ujung jalan sejarah, menanti kereta kepahlawanan yang setiap saat akan lewat.


Cerita sang jiwa yang selalu berjaga-jaga seperti kata Chairil
Anwar "di garis batas pernyataan dan impian."
“Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami…
 (Chairil Anwar)

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
(Chairil Anwar)

Untaian Zamrud Khatulistiwa ini masih mungkin dirajut menjadi kalung sejarah yang indah.
Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa kita saat ini.
Tidak peduli seberapa banyak kekuatan asing yang menginginkan kehancuran bangsa ini.
Masih mungkin.
Dengan satu kata:
 “para pahlawan”.
Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir ke sini.
Sekali lagi, jangan pernah menunggu kedatangannya,
Mereka tidak akan pernah datang.
Tetapi Mereka sudah ada di sini.
Mereka lahir dan besar di negeri ini.
Mereka adalah aku, kau, dan kita semua.
Mereka bukan orang lain.
Mereka hanya belum memulai.
Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka;
dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah.
(Anis Matta)

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan
ke bumi untuk menyelesaikan persoalan
manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian
kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang
melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang
panjang, sampai waktu mereka habis.
Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga
melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat.
Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan
seluruh kemampuannya untuk memberikan
yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka
merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya
kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang
lama.