Motto

Hidup adalah pembelajaran tak kenal henti....

Saturday, April 15, 2017

“TEORI BELAJAR SOSIAL-HUMANISTIK”

Latar Belakang
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri peserta didik. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku ketrampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi, belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada peserta didik. Belajar mengandung makna suatu proses dengan arahan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang ada pada peserta didik.
Belajar merupakan sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar bermakna sebuah pembaharuan kepada pengembangan diri setiap individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan lingkungan tersebut.
Secara garis besar, teori belajar selalu sambung-sambungkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. seperti yang sering kita jumpai adalah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor.
Pembelajaran perlu didukung oleh adanya teori dan belajar, secara umum teori belajar dikelompokan dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar Behavioristik (2) Teori Belajar Kognitifistik (3) Teori Belajar Konstruktifistik (4) Teori Belajar Humanistik.
Salah satu teori belajar yaitu humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Teori ini menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, dalam Sudrajat bahwa teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. (Sudrajat, 2013).

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini:
1.      Apa itu teori belajar sosial-humanistik?
2.      Siapa saja tokoh dalam teori belajar sosial-humanistik?
3.      Apa-apa saja konsep teori masing-masing tokoh?
4.      Bagaimana aplikasi teori belajar sosial-humanistik dalam pembelajaran
 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan:
1.      Untuk mengetahui apa itu teori belajar sosial-humanistik.
2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh teori belajar sosial-humanistik.
3.      Untuk mengetahui konsep teori masing-masing tokoh.
4.      Untuk mengetahui aplikasi teori belajar sosial-humanistik dalam pembelajaran.
  
Pengertian Teori Belajar Sosial-Humanistik
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang penting, dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketramdpilan. Pernyataan di atas didukung oleh Melvih H. Marx dalam Prawira (2002: 84) bahwa “Belajar adalah perubahan yang dialami secara relatif abadi dalam tingkah laku yang dasarnya merupakan fungsi dari tingkah laku sebelumnya. Dalam hal ini sering disebut praktik atau latihan” Kutipan diatas dapat diartikan bahwa belajar membutuhkan waktu dan melalui proses perubahan perilaku dan pola pikir dari seseorang.
Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya siswa mampu mencapai aktualisasi diri dengan optimal. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Sedangkan teori belajar merupakan teori yang mendeskripsikan apa yang sedang terjadi saat proses belajar berlangsung dan kapan proses belajar itu berlangsung (Thobroni, 2015: 14).  Melalui teori belajar kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi dan membantu memahami bagaimana proses pembelajaran. Jadi, teori belajar merupakan landasan untuk menghasilkan pengajaran yang baik, manjemen yang baik dengan menggunakan teori belajar yang relevan, sesuai dan disukai sehingga tujuan belajar yang diinginkan bisa tercapai.
Teori belajar sosial adalah suatu teori pembelajaran yang mengedepankan tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial. teori belajar humanistik juga berbicara teori pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia dan peserta didik bisa mengembangkan potensi dirinya. Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berpusat pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Artinya teori ini lebih terarah pada ide belajar, bentuk yang paling ideal dari pada belajar itu apa adanya, apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” atau mencapai aktualisasi diri tercapai.
Teori belajar humanistik mengatakjan bahwa belajar dianggap berhasil jika si pelajar faham lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar seperti ini berusaha memahami perilaku belajar berdasarkan sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. (Uno, 2006: 13)
Berikut ini adalah para tokoh dalam teori belajar social-humanistik, yaitu John Dewey, Herbert Thelen, Gordon W. Allport, Kurt Lewin dan Carl R. Rogers.

B.   Tokoh-Tokoh Teori Belajar Sosial-Humanistik
1.      Teori John Dewey
a.        Riwayat Hidup
John Dewey (1859 – 1952) adalah seorang filsuf, teoritikus, serta kritikus sosial yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat di awal dan pertengahan abad XX. Di pusat penelitian ini ia memulai penelitian mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya ia meninggalkan pola dan proses pedidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Dalam praktiknya, Dewey menganjurkan metode pembelajaran learning by doing (belajar sambil melakukan) dan problem solving  sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dewey telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan dan disebut sebagai Bapak Pendidikan Modern.
b.    Konsep Dasar Teori
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.in
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1944: 89-90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
- Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
-  Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
-  Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

2.      Teori Herbert Thelen
a.    Riwayat Hidup
Herbert Thelen (1931 – 2008), seorang Profesor berkebangsaan California yang karyanya berorientasi pada pengembangan proses pengkajian akademis sebagai upaya dalam mengkombinasikan strategi mengajar (Sudjana, dalam Mudrika, 2007:15). Thelen dikenal sebagai salah satu yang mengembangkan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) yaitu metode pembelajaran yang mengutamakan kerjasama yang saling menguntungkan. Thelen mengembangkan prosedur-prosedur yang lebih teliti untuk membantu siswa bekerja dalam kelompok.
 Ada beberapa tipe yang dapat diterapkan dalam model pembelajaran kooperatif antara lain: 1) Student Team Achievement Divisions (STAD); (2) Jigsaw; (3) Group Investigation (GI); dan (4) Strukural yang meliputi Think Pair Share (TPS) dan Number Head Together (NHT). Model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) inilah yang dirancang oleh Thelen yang menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998).

b.    Konsep Dasar Teori
Salah satu model pembelajaran yang mendukung keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar adalah model pembelajaran Group investigation (GI) (Krismanto, 2003:6). Group Investigation merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif  yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet.
Selanjutnya Thelen (Joyce dan Weil, 1980:332) mengemukakan tiga konsep utama dalam pembelajaran GI, yaitu:
a.         Inquiry
Inquiry artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Komponen menemukan merupakan kegiatan inti dari Model pembelajaran GI. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang dimilki oleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.
b.         Knowledge
Pengalaman belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Davenport and Prusak (1998) mendefinisikan pengetahuan secara luas dengan pengetahuan merupakan campuran dari pengalaman, nilai, informal kontekstual, dan pandangan pakar yang memberikan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman baru dan informasi.
c.         The dynamics of the learning group
Dalam model pembelajaran GI, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dari bakat ataupun minatnya. Dalam pembelajaran kelompok diharapkan setiap anggota dalam kelompok saling memberi; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lemah, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelebihan GI menurut  Setiawan (2006:9), yaitu sebagai berikut:
1.      Secara Pribadi
o  Dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas
o  Memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif
o  Rasa percaya diri dapat lebih meningkat
o  Dapat belajar untuk memecahkan, menangani suatu masalah
o  Mengembangkan antusiasme dan rasa pada fisik
2.      Secara Sosial
o  Meningkatkan belajar bekerja sama
o  Belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun guru
o  Belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis
o  Belajar menghargai pendapat orang lain
o  Meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan
3.      Secara Akademis
o  Siswa terlatih untuk mempertanggungjawabkan jawaban yang diberikan
o  Bekerja secara sistematis
o  Mengembangkan dan melatih keterampilan fisika dalam berbagai bidang
o  Merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaannya
o  Mengecek kebenaran jawaban yang mereka buat
o  Selalu berfikir tentang cara atau strategi yang digunakan sehingga didapat suatu kesimpulan yang berlaku umum.
Sedangkan kelemahan GI menurut  Setiawan (2006:9), yaitu sebagai berikut:
1.      Sedikitnya materi yang tersampaikan pada satu kali pertemuan
2.      Sulitnya memberikan penilaian secara personal
3.      Tidak semua topik cocok dengan model pembelajaran GI, model pembelajaran GI cocok untuk diterapkan pada suatu topik yang menuntut siswa untuk memahami suatu bahasan dari pengalaman yang dialami sendiri
4.        Diskusi kelompok biasanya berjalan kurang efektif
Siswa yang tidak tuntas memahami materi prasyarat akan mengalami kesulitan saat menggunakan model ini.

4.      Teori Gordon W. Allport
a.       Riwayat Hidup
Allport lahir pada 11 november 1897, di Montezuma, Idiana sebagai anak keempat dari pasangan  John E. Allport dan Nellie Wise Allport.Kehidupanya ditandai oleh ketaatan agama Protestan.Saat Gordon berusia 6 tahun, keluarganya telah berpindah sebanyak tiga kali sampai akhirnya menetap di Cleveland, Ohio. Allport mengembangkan minat awal pada pertanyaan-pertanyaan religius dan filosofis serta mempunyai lebih banyak fasilitas untuk membaca dari pada bermain.
Pada tahun 1915, Alport masuk ke Harvard mengikuti jejak kakaknya yaitu Floyd yang lulus 2 tahun sebelumnya dan merupakan asisten sarjana di jurusan psikologi. Dalam autobiografinya, Gordon Allport (1967) menuliskan “ hampir semalam,  saya  telah berubah. Nilai-nilai moral dasar saya pastinya telah dibentuk dari rumah. Masuknya Alport ke Harvard, juga menandai awal dari 50 tahun hubungannya dengan universitas tersebut. Saat menerima gelar sarjana psikologi dan ekonomi pada tahun 1919 ia masih tidak yakin dengan karirnya dimasa depan. Ia telah mengikuti kuliah psikologi dan etika sosial dan kedua ilmu tersebut memberikan kesan mendalam baginya. Saat diberikan kesempatan untuk mengajar diturki, ia melihat sebagai suatu kesempatan untuk mengetahui apakah ia akan menikmati menjadi pengajar. Ia melewatkan tahun tahun akademisnya antara tahun 1919-1920 di Eropa dengan mengajar bahasa inggris dan sosiologi di Robert College di Istambul.
b.      Konsep Dasar Teori Allport
1)      Struktur dan Dinamika Kepribadian
Bagi Allport struktur kepribadian itu terutama dinyatakan dalam sifat-sifat (traits) dan tingkah laku didorong oleh sifat-sifat (traits). Jadi struktur dan dinamika itu pada umumnya satu dan sama. Allport berpendapat bahwa masing-masing pengertian refleks bersyarat, kebiasaan, sikap, sifat, diri (self) dan kepribadian itu kesemuanya masing-masing adalah bermanfaat.
Tetapi walaupun semua pengertian itu diterima dan dianggap penting, namun tekanan utama diletakkannya pada sifat (trait), sedangkan disamping itu sikap (attitude) dan intensi (intentions) diberinya kedudukan yang kira-kira sama, sehingga ada yang menamakan psikologi Allport itu adalah “trait psychology”.

2)      Kepribadian Watak dan Temperamen
Menurut Allport, kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Watak (karakter), Allport menunjukkan bahwa biasanya kata watak menunjukkan arti normatif, dia menyatakan bahwa “karakter adalah kepribadian yang menilai, dan kepribadian adalah karakter yang tidak menilai (Alwisol, 2004: 274).
Temperamen adalah gejala karakteristik daripada sifat emosi individu, termasuk juga mudah tidaknya kena rangsangan emosi, kekuatan serta kecepatannya bereaksi, kualitas kekuatan suasana hatinya, segala cara daripada fluktuasi dan intensitas suasana hati. Gejala ini tergantung kepada faktor konstitusional dan karenanya terutama berasal dari keturunan.

3)      Sifat (Trait)
Sifat adalah sistem neuropsikis yang digeneralisasikan dan diarahkan, dengan kemampuan untuk menghadapi bermacam-macam perangsang secara sama, memulai serta membimbing tingkah laku adaptif dan ekspresif secara sama. Perbedaan sifat dengan pengertian yang lain:
·         Kebiasaan (habit)
Sifat (trait) dan kebiasaan (habit) kedua-daunya adalah tendens determinasi, akan tetapi sifat itu lebih umum, baik dalam situasi yang dicocokinya, maupun dalam response yang terjelma darinya.
·         Sifat (attitude)
Bagi Allport perbedaan antara pengertian sifat (trait) dan sikap (attitude). Bagi kedua-duanya itu adalah predisposisi untuk berespon, kedua-duanya adalah khas, kedua-duanya dapat memulai atau membimbing tingkah laku, kedua-duanya adalah hasil dari faktor genetis dan belajar.
·         Tipe
Allport membedakan antara sifat dan tipe. Menurut dia orang dapat memiliki sesuatu sifat, tetapi tidak dapat memiliki sesuatu tipe. Tipe adalah konstruksi ideal si pengamat, dan seseorang dapat disesuaikan dengan tipe itu tetapi dengan konsekuensi diabaikan sifat-sifat khas individualnya. Sifat dapat mencerminkan sifat khas pribadi sedangkan tipe malah menyembunyikannya. Jadi bagi Allport, tipe menunjukkan perbedaan-perbedaan buatan yang tak begitu cocok dengan kenyataan, sedangkan sifat adalah refleksi sebenarnya daripada yang sebenar-benar ada.

4)      Perkembangan Kepribadian
Melihat teori otonomi fungsional itu nyatalah bahwa individu itu dari lahir itu mengalami perubahan-perubahan yang penting.

·         Kanak-kanak
Dalam masa ini anak itu merupakan makhluk yang punya tegangan-tegangan dan perasaan enak tak enak. Pertumbuhan itu bagi Allport merupakan proses diferensiasi dan integrasi yang berlangsung terus-menerus. Jadi beberapa tingkah laku anak itu merupakan perintis bagi pola-pola kepribadian selanjutnya. Allport menyimpulkan, bahwa setidak-tidaknya pada  bagian kedua tahun pertama anak telah menunjukkan dengan pasti sifat-sifat yang khas.
·         Transformasi Kanak-kanak
Menurut Allport manusia itu adalah organisme yang pada waktu lahirny adalah makhluk biologis, lalu berubah/berkembang menjadi individu yang egonya selalu berkembang, struktur sifat-sifatnya meluas dan merupakan inti daripada tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi masa depan. Di dalam perkembangan ini tentu saja peranan yang menentukan ada pada otoonomi fungsional.
·         Orang Dewasa
Pada orang dewasa faktor-faktor yang menentukan tingkah laku adalah sifat-sifat (traits) yang terorganisasikan dan selaras. Sifat-sifat ini timbul dalam berbagai cara dari perlengkapan-perlengkapan yang dimiliki neonatus. Bagi Allport tidaklah penting, yang penting ialah yang ada kini.

Kelebihan Teori Allport
·         Menekankan keunikan kepribadian
·         Dapat memotivasi orang agar dapat berkembang menjadi individu yang unggul
·         Menyajikan aspek positif tingkah laku manusia dengan cara yang menghormati keunikan setiap organisme hidup.
·         Bersifat pluralistis dan ekletik

Kekurangan Teori Allport
·         Tidak memadai untuk banyak penelitian
·         Gagal menunjukkan konsep pokok yaitu fungsi otonomi
·         Memberikan perhatian yang terlalu sedikit pada pengaruh sosial dan faktor situasioanal
·         Menggambarkan manusia pada gambaran terlalu positif



5.    Teori Kurt Lewin
a.    Riwayat Hidup
Kurt Lewin lahir pada tanggal 9 September 1890 disuatu desa kecil di Prusia, daerah dosen. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara, Lewin menyelesaikan sekolah menengahnya di Berlin tahun 1905 kemudian ia masuk Universitas di Freiburg dengan maksud belajar ilmu kedokteran, tetapi ia segera melepaskan idenya ini dan setelah satu semester belajar psikologi pada universitas di sana. Setelah meraih gelar doktornya pada tahun 1914, Lewin bertugas di ketentaraan Jerman selama empat tahun. Pada akhir perang ia kembali ke Berlin sebagai instruktur dan asisten penelitian pada lembaga Psikologi.
Lewin menghabiskan sisa sisa hidupnya di Amerika Serikat. Ia adalah profesor dalam bidang psikologi anak-anak pada Universitas Cornell selama dua tahun (1933-1935) sebelum dipanggil ke Universitas negeri Iowa sebagai profesor psikologi pada Badan Kesejahteraan Anak. Pada tahun 1945, Lewin menerima pengangkatan sebagai profesor dan direktur Pusat Penelitian untuk dinamika kelompok di Institut Teknologi Massachussetts. Pada waktu yang sama, ia menjadi direktur dari Commission of Community Interrelation of The Amerika Jewish Congress, yang aktif melakukan penelitian tentang masalah masalah kemasyarakatan. Ia meninggal secara mendadak karena serangan jantung di Newton Ville, Massachussetts, pada tanggal 9 Februari 1947 pada usia 56 tahun.
b.      Konsep Dasar Teori
Teori medan kognitif (cognitive field theory) dikemukakan oleh Kurt Lewin dan disebut pula dengan “topologi” (topologi theory). Lewin juga menggolongkan teori medan sebagai “suatu metode untuk menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk membangun konstruk-konstruk ilmiah”. Menurut teori ini, belajar adalah perubahan dalam struktur kognitif, atau dalam cara menanggapi kejadian-kejadian dan memberikan makna kepadanya. Jadi, yang ditekankan dalam belajar adalah proses kognitif bukannya pada produk tertentu. Mempelajari geometri, misalnya, yang penting adalah menemukan prinsip-prinsip yang mengorganisasikan bukannya malah menemukan jawaban khusus.
Ciri-ciri utama dari teori Lewin, yaitu :
·      Tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi.
·      Analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian bagian komponennya  dipisahkan.
·      Orang yang kongkret dalam situasi yang kongkret dapat digambarkan secara matematis.
Teori ini membahas mengenai struktur, dinamika dan perkembangan kepribadian yang dikaitkan dengan lingkungan psikologis, dimana konsep-konsep ini telah diterapkan dalam berbagai gejala psikologis dan sosiologis.
1.    Struktur Kepribadian
Konsep struktural yang paling umum dalam teori lewin adalah ruang hidup, lingkungan psikologis dan pribadi. 
a.       Ruang hidup, yang mengandung kemungkinan fakta yang dapat menentukan tingkah laku individu.
Secara matematis : TL = f (RH)           TL (tingkah laku), f (fakta), RH (ruang hidup)
Fakta fakta non psikologis dapat dan sungguh-sungguh mengubah fakta-fakta psikologis. Fakta-fakta dalam lingkungan psikologis dapat juga menghasilkan perubahan- perubahan dalam dunia fisik. Ada komunikasi dua arah antara ruang hidup dan dunia luar bersifat dapat ditembus (permeability), tetapi dunia fisik (luar) tidak dapat berhubungan langsung dengan pribadi karena suatu fakta harus ada dalam lingkungan psikologis sebelum mempengaruhi/dipengaruhi oleh pribadi.
b.      Lingkungan psikologis, Meskipun pribadi dikelilingi oleh lingkungan psikologinya, namun ia bukanlah bagian dalam lingkungan tersebut. Dalam hal ini fakta-fakta lingkungan dapat mempengaruhi pribadi.
Secara Matematis : P = f (LP), P                      (pribadi), LP (lingkungan psikologi).
c.       Pribadi, Menurut Lewin pribadi adalah heterogen. Terbagi menjadi bagian-bagian yang terpisah meskipun saling berhubungan dan saling tergantung. Daerah dalam personal dibagi menjadi sel sel. Sel sel yang berdekatan dengan daerah konseptual motor disebut sel sel periferal ;p; sel sel dalam pusat lingkaran disebut sel sel sentral s. Sistem motor bertidak sebagai suatu kesatuan karena biasanya lahannya dapat melakukan suatu tindakan pada satu saat. Begitu pula dengan sistem perseptual artinya orang hanya dapat memperhatikan dan mempersepsikan satu hal pada satu saat. Bagian bagian tersebut mengadakan komunikasi dan interdependen; tidak bisa berdiri sendiri.

2.      Dinamika Kepribadian
Dinamika kepribadian menurut kurt lewin dalam Alwisol (2004: 380-382):
a)      Energy, muncul dari perbedaan tegangan antar sel atau antar region.
b)      Tegangan, dibagi menjadi 2 yaitu tegangan yang cenderung menjadi seimbang dan cenderung untuk menekan bondaris sistem yang mewadahinya.
c)      Kebutuhan, mencakup pengertian motif, keinginan dan dorongan.
d)     Tindakan (action)
e)      Valensi, adalah nilai region dari lingkungan psikologis bagi pribadi. Region valensi positif dapat mengurangi tegangan dan region valensi negative dapat meningkatkan tegangan (rasa takut)
f)       Vector, tingkah laku atau gerak seseorang akan terjadi kalau ada kekuatan yang cukup mendorongnya. Lewin menyebutnya dengan vector. Arah dan kekuatan vector merupakan fungsi dari valensi positif dan negative.
g)      Lokomosi, lingkaran pribadi dapat pindah dari satu tempat ketempat lain di dalam daerah lingkungan psikologis. Perpindahan lingkaran itu disebut lokomosi. Lokomosi bisa berupa gerak fisik atau perubahan fokus perhatian.
h)      Event, adalah hasil interaksi antara 2 atau lebih fakta baik didaerah pribadi maupun didaerah lingkungan.
i)        Konflik, terjadi didaerah lingkungan psikologis. Lewin mendefinisikan konflik sebagai situasi dimana seseorang menerima kekuatan-kekuatan yang sama besar tapi arahnya berlawanan. Lewin memagi konflik menjadi 3 tipe, yaitu:
ü  Konflik tipe 1, Konflik yang sederhana terjadi kalau hanya ada 2 kekuatan yang mengenai individu. Konflik semacam ini disebut konflik tipe 1 (Gambar-15a). Ada tiga macam konflik tipe 1:
§  Konflik mendekat-mendekat, dua kekuatan mendorong ke arah yang berlawanan, misalnya orang dihadapkan pada dua pilihan yang sama¬sama disenanginya.
§  Konflik menjauh-menjauh, dua kekuatan menghambat ke arah yang yang berlawanan, misalnya orang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama tidak disenanginya.
§  Konflik mendekat-menjauh, dua kekuatan mendorong dan menghambat muncul dari satu tujuan, misalnya orang dihadapkan pada pilihan sekaligus mengandung unsur yang disenangi dan tidak disenanginya.
ü  Konflik tipe 2, Konflik yang kompleks bisa melibatkan lebih dari dua kekuatan. Konflik Ini dapat memuat seseorang terpaku dan tidak dapat menentukan pilihan.
ü  Konflik tipe 3, Seseorang berusaha mengatasi kekuatan-kekuatan penghambat, sehingga konflik menjadi terbuka, ditandai dengan sikap kemarahan, agresi , pemerontakan atau sebaliknya penyerahan diri yang neorotik.
j)        Tingkat Realita, konsep realita menurut Lewin adalah realita berisi lokomosi actual, dan tak realita berupa lokomosi imajinasi.
k)      Menstuktur Lingkungan
Lingkungan psikologi adalah konsep yang sangat mudah berubah. Dinamika dari lingkungan dapat berubah dengan 3 cara yakni:
§  Perubahan valensi : Region bisa berubah secara kuantitatif-valensinya semakin positif atau semakin negatif,atau berubah secara kualitatif dari positif menjadi negatif atau sebaliknya region baru bisa muncul dan region lama bisa hilang.
§  Perubahan vektor : Vektor mungkin dapat berubah dalam kekuatan dan arahnya.
§  Perubahan Bondaris : Bondaris mungkin menjadi semakin permeabel atau semakin tidak permeabel,mungkin muncul sebagai bondaris atau tidak muncul sebagai bondaris.
 l )   Mempertahankan Keseimbangan
Dalam sistem reduksi tegangan,tujuan dari proses psikologis adalah mempertahankan pribadi dalam keadaan seimbang. Yang paling umum dan paling efektif untuk mengembalikan keseimbangan adalah melalui lokomosi dalam lingkungan psikologis,memindah pribadi ke region tempat objek yang bervalensi positif(yang memberi kepuasan). Tapi kalau region yang diinginkan mempunyai bondaris yang tak permeabel tegangan terkadang dapat dikurangi(dan keseimbangan dapat diperoleh)dengan melakukan lokomosi pengganti,pindah ke region yang dapat memberi kepuasan lain(yang bondarisnya permeabel) ternyata dapat menghilangkan tegangan dari system kebutuhan semula.
Kecenderungan mencapai keseimbangan itu tidak berarti membuat diri seimbang sempurna,tetapi menyeimbangkan semua tegangan dalam daerah pribadi-dalam. Lewin menjelaskan bahwa dalam sistem yang kompleks menjadi seimbang bukan berarti hilangnya tegangan,tetapi mempeoleh keseimbangan dari tegangan internal. Tujuan utama dari perkembangan psikologis adalah menciptakan semacam struktur internal yang menjamin keseimbangan psikologis bukan membuat bebas tegangan.
3.      Perkembangan Kepriadian, menurut lewin hakekat perkembangan kepribadian itu adalah: diferensiasi, perubahan dalam variasi tingkah lakunya, perubahan dalam organisasi dan struktur tingkah lakunya lebih kompleks, serta bertamah luas karena aktivitas dan perubahan dalam realitas.

Meskipun teori ini mempunyai banyak kelebihan atau jasa, namun teori ini juga mempunyai kekurangan, yaitu:
·         Psikologi tidak dapat mengabaikan lingkungan objektif. Ruang hidup bukanlah suau sistem psikologis yang tertutup. Di suatu pihak, ruang hidup dipengaruhi oleh dunia luar, dan di lain pihak ruang hidup menghasilkan perubahan-perubahan dalam dunia objektif.
·         Lewin kurang memperhatikan sejarah individu pada masa lalu sebagai penentu tingkah laku. Ini merupakan resiko teori yang mementingkan masa kini dan masa yang akan datang. Teori ini juga terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang mendalam dari kepribadian sehingga mengabaikan tingkah laku motoris yang nampak dari luar.
·         Lewin menyalahgunakan konsep ilmu alam dan konsep matematika. Memang tidak mudah memahami jiwa dengan memakai rumus-rumus matematika. Bahkan Lewin berani mengambil resiko dengan memakai istilah-istilah dalam matematika dan fisika untuk dipakai dalam psikologi dengan makna yang sangat berbeda dengan makna aslinya.
·         Penggunaan konsep-konsep topologi telah menyimpang dari arti sebenarnya. Penggambaran topologis dan vaktorial dari Lewin tidak mengungkapkan sesuatu yang baru tentang tingkah laku. Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan secara jelas sehingga memberikan arti yang kabur.


6.      Teori Carl R. Rogers
a.       Riwayat Hidup
Carl Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois, Chicago. Ia lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama, tetapi akhirnya berpindah ke bidang psikologi.  Rogers mempelajari Psikologi Klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D tahun 1931. Sebelumnya ia merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak. Gelar Profesor diterima di Ohio State tahun 1940. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya berjudul Counseling and Psychoterapy, dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centered Therapy. Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman atau signifikansi).

b.        Konsep Dasar Teori
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian berubah dan berkembang, dan ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya: Organisme, Medan fenomena, dan self.
1.      Organisme adalah keseluruhan individu (the total individual). Organisme memiliki sifat-sifat berikut:
·         Organisme bereaksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
·         Organisme memiliki satu motif dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
·         Organisme mungkin melambangkan pengalamannya. Sehingga hal itu disadari atau mungkin menolak pelambangan itu. Sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari atau mungkin juga organisme itu tak memperdulikan pengalaman-pengalamannya.
2.      Medan fenomena adalah keseluruhan pengalaman (the totality experience), baik yang internal maupun eksternal, baik disadari maupun tidak disadari. Medan fenomena ini merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.
3.      Self adalah bagian medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian sadar. Self mempunyai bermacam-macam sifat:
·         Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungan.
·         Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam bentuk yang tidak wajar.
·         Self menginginkan konsistensi (keutuhan/kesatuan, keselarasan).

C.    Aplikasi Teori Belajar Sosial-Humanistik
1.      Aplikasi Teori John Dewey
Menurut John Dewey dalam (Anwar Holil, 2008) metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah.
1.      Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2.      Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
3.  Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4.   Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
5. Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.

2.        Aplikasi Teori Herbert Thelen
Tahapan-tahapan dalam model pembelajaran GI sebagai berikut.
1.      Tahap mengidentifikasi topik dan pengelompokan.
Para siswa memilih berbagai sub topik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok pada pembelajaran ini heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik.
2.      Tahap merencanakan penyelidikan kelompok
Para siswa beserta guru merencakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah (1) di atas
3.      Tahap melaksanakan penyelidikan
Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber, baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika deperlukan.
4.      Tahap menyiapkan laporan akhir
Para siswa menganalisis dan mengsintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c. dan merencakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yan menarik di depan kelas.
5.      Tahap menyajikan laporan
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut.
6.      Tahap evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok dan bahkan kedua-duanya.

3.      Aplikasi Teori Gordon W. Allport 
Aplikasi teori kepribadian Allport di masyarakat contohnya bila seseorang di masa kecil dia masih belum menjadi pribadi yang dewasa tetapi saat umurnya semakin bertambah maka dia menjadi pribadi yang lebih dewasa. Misalnya anak kecil belum bisa berpikir inovatif mereka lebih ingin meniru orang–orang di sekitarnya tetapi makin dewasa mereka bisa memunculkan ide–ide yang inovatif.
Aplikasi pembelajaran matematika dalam teori ini berhubungan dengan lingkungan (alam) atau yang didapat dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh aplikasi teori Allport dalam Matematika :
1.      Masalah berkaitan dengan volume bangun ruang
Bu Mira mempunyai 1 kaleng penuh berisi beras. Kaleng tersebut berbentuk tabung dengan diameter  28 cm dan tinggi 60 cm. setiap hari Bu Mira menanak nasi dengan mengambil 2 cangkir beras. Jika cangkir berbentuk tabung dengan diameter 14 cm dan tinggi 8 cm, persediaan beras akan habis dalam waktu …hari.
a.       Diketahui :
Kaleng berbentuk tabung
      Diameter = d = 28 cm
Tinggi = 60 cm
Cangkir berbentuk tabung
      Diameter = d = 14 cm
      Tinggi = 8 cm
b.      Ditanya :
Persediaan beras akan habis dalam waktu … hari ?
Waktu persediaan beras akan habis. Jadi, persediaan beras akan habis dalam waktu 15 hari.

4.      Aplikasi Teori Kurt Lewin
Contoh nyata aplikasi teori kurt lewin dalam lingkungan masyarakat sangat beragam, salah satunya seseorang anak SMA yang baru lulus dan memasuki perguruan tinggi, dia akan menemui lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Seperti mata pelajaran yang lebih banyak atau materi yang lebih sulit serta mendalam. Maka akan timbul hambatan-hambatan dalam dirinya dalam mempelajari materi yang baru. Namun karena adanya fakta-fakta dalam lingkungan psikologiya; seperti ia harus lulus tepat waktu atau harus mendapat IP bagus, maka ia akan berusaha mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan psikologis sangat mempengaruhi pribadi dalam bertidak.

5.      Aplikasi Teori Carl R. Rogers
Aplikasi teori belajar humanistik dalam pendidikan:
a.       Pendidikan humanistik
Menurut rogers (dalam Palmer, 2003) dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat yang positif, empati, dan suasana yang harmonis/ tulus, untuk mencapai perkembangan yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri. salah satu cara untuk mendeskripsikan pendidikan humanistik adalah dengan melihat apa yang terjadi di kelas.

b.      Pendidik yang humanistik
Psikologi humanistic memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada pencintaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas. Fasilitator antara lain berfungsi untuk:
1)   Membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat lebih umum.
2)   Mempercayai adanya keinginan dari tiap siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya.
3)   Mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
Aplikasi teori humanistik terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa. Sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Siswa berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negative.

Contoh aplikasi teori Rogers dalam Matematika :
Mencari bilangan yang tidak diketahui
1.      Pertanyaan
Berapa nilai yang tidak diketahui dari… - 7 = 13?
2.      Pemecahan masalah
Misalkan nilai yang tidak diketahui = x
x – 7 = 13
x – 7 + 7 = 13 + 7     kedua sisi (+7)
x = 20
3.      Demonstrasi
Yang mendemonstrasikan harus “sudah tahu” hasilnya 20.
Taruh 20 kelereng dalam sebuah kantong gelap, kemudian meminta seorang untuk mengambil 7 kelereng dalam kantong. Selanjutnya siswa lain diminta untuk sisa kelereng dikantong dan menghitungnya, tentu “13”. Barulah bertanya “ada berapa kelereng sebelum diambil 7?”
Siswa diarahkan menggabung kelereng yang diambil awal dan sisa setelah diambil. Mereka akan menjawab jika jawabannya adalah 20.

Kesimpulan
Teori belajar sosial adalah suatu teori pembelajaran yang mengedepankan tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial. Sedangkan teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya. Tokoh dalam teori belajar sosial-humanistik, yaitu John Dewey, Herbert Thelen, Gordon W. Allport, Kurt Lewin dan Carl R. Rogers.
Konsep dasar teori John Dewey adalah konsep pragmatisme, Herbert Thelen konsep dasarnya pada pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning), Gordon W. Allport mengenai kepribadian, Kurt Lewin mengenai medan kognitif dan Carl R. Rogers lebih mengedepankan sifat humanis pada setiap individu.
Aplikasi masing-masing teori bisa kita terapkan dalam pembelajaran, namun masing-masing teori juga memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana pendidik menggunakan masing-masing teori itu dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2004). Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press
Calvin S. Hall & Gardner Lindsey. (1993). Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik - Fenomenologis). Yogyakarta
Dalyono, M. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dewey, John. (1916). Democracy and Education. New York: Macmillan, Originally Published.
Freist, J & Freist, Gregory (1998), Theories of Personality, Amerika : Mc Graw Hill.
Hall, Calvin S., & Lindzey, Gardner (2000), Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), Dr. A. Supratiknya (ed.), Jogjakarta :Kanisius .
Holil, Anwar. (2008). Metode Pengajaran John Dewey. Tersedia di laman http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/metode-pengajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 18 Maret 2015.
          http://athiekdungmuth.files.wordpress.com/2012/06/teori-medan.docx
http://blog.ub.ac.id/azzuranajmieft/
http://Carl%20Rogers%20//%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.html
http://Etika%20dan%20Kepribadian.html
http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.com/2012/05/teori-belajar-medan-kognitif-karya-kurt.html
http://novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/15/teori-belajar-humanistik/. 15 Juni 2008
http://wmegawati.blogspot.com/2013/12/teori-belajar-kognitif.html
Joyce dan Weil. (1980). Model of Teaching. Engalewood Cliffs. New Jersey: Prientice-Hall.
Krismanto. (2003). Beberapa Teknik, Model, dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika.
Nasution, S. (1982). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara.
Noergayya, Just Wear. (2012). Teori Belajar John Dewey. Tersedia di laman http://justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 18 Maret 2015.
Purnawati, Dewi. (2011). Teori Belajar John Dewey. Tersedia di laman http://dewipurnawati1.weebly.com/4/post/2011/05/teori-belajar-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 18 Maret 2015.
Prawira, P. Atmaja. (2012). Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Jakarta: Ar-Ruzz Media
Robert, Thomas B., Four Psychologies Applied to Education, 1975, New York, Hals Ted Press Dvision
Sarlito Sarwono. (2002). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Schultz, Duane. (1991). Psikologi Pertumbuhan: Model – Model Kepribadian Sehat. Jogjakarta: Kanisius,.
Sukamto, Tuti. & Winataputra, Udin S. (1994). Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka
Supandi. (2005). Penerapan Pembelajaran Kooperatif dengan Metode GI untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X SMAN 2 Trawas Mojokerto. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Thobroni. (2015). Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media