Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, yaitu pluralism, sehingga memiliki arti :
a. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural.
b. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
c. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Secara umum gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari tingkah lakunya[1]. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa genjer adalah suatu konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan ekonomi.
A. Materi Pokok
1. Pluralisme
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa Inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah :
"In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/ pembiasan)."
Pluralisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plu·ra·lis·me adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya); Secara istilah pluralisme adalah pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan keadaban yang disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan Rahmat Tuhan bagi kehidupan.[2]
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, yaitu pluralism, sehingga memiliki arti :
a. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural.
b. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
c. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris, dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.[3]
Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [4]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah dielaborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama dengan apa yang dikemu-kakan Aristoteles. Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia. Sebelum pertimbangan-pertimbangan atau interrest-interrest yang bersifat politis, ideologis dan ekonomis menyertai kehidupan seseorang, dalam kehidupan praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani kehidupan yang pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel dalam pola interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di atas lebih menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang sering disebut sebagai bangsa paling majemuk di dunia. Di negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa ini, berdiam tidak kurang dari 300 etnis dengan identitas kulturalnya masing-masing, lebih dari 250 bahasa dipakai, beraneka adat istiadat serta beragam agama di anut. Kendati demikian kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama dan kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama.
Konflik sendiri sebagaimana dipaparkan di bagian lain tulisan ini, merupakan keniscayaan. Keberadaannya senantiasa mengiringi masyarakat plural. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di sini memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja tidak muncul kepermukaan karena diredam sebagaimana selama ini efektif dimainkan oleh rezim pemerintah Orde Baru, tetapi keberadaannya tak akan hilang sama sekali. Jika keadaan memungkinkan konflik terselubung (hidden conflict) itu akan meledak seperti saat ini. Dengan kata lain, akibat tersumbatnya konflik secara tidak proporsional maka akan lahir konflik yang distruktif dan berpotensi disintegratif bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Jika pluralisme itu given, sementara konflik adalah sesuatu yang inhern di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas), ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif. Memahami pluralisme meski melibatkan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.
Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan pluralisme agama. Menurutnya, “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”[5]. Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance) sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde baru, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance). Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen, maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim, demikian pula sebaliknya. Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya. Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[6]
Meskipun konsep toleransi positif seperti di atas terbilang konsep lama, tetapi implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survey mutaakhir yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survey yang dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[7] Hal ini bisa dilihat dari besarnya responden (85,7%) yang tidak setuju anggota keluarganya menikah dengan non-muslim, anggota keluarga boleh menikah dengan non muslim, asal masuk Islam lebih dulu (88%). Sementara terhadap pertanyaan; dibanding umat lain, umat Islam adalah sebaik-baik umat sebanyak 92,5% karenanya non-Islam harus masuk agama Islam (58,7%). Tidak boleh mengucapkan salam “assalamualaikum” dan selamat hari natal (“selamat natal”) kepada non-Muslim (73,5%) dan setiap Muslim berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada orang-orang non muslim (73%).[8] Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas pendidikkan saja -sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.
2. Gender
Pengertian Gender
Gender berasal dari bahasa inggris yang berarti “jenis kelamin”(John M.echlos dan Hasan Sadhily, 1983:256). Secara umum gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari tingkah lakunya[9]. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa genjer adalah suatu konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan ekonomi.
Ketimpangan tersebut terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan timbal balik yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan adanya pembagian peran, dan kekuasaan antara perempuan dabn laki-laki. Dalam kehidupan sosial misalnya, berkembangan anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan,karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya belaka. Produk atau konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:
1) Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya kesempatan perempuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki.Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu; peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan.
2) Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menempatkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki.
3) Stereotipisasi perempuan, yakni percitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnya perempuan sering kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.
4) Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan.
5) Beban kerja yang proporsional, pandangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya memarginalkan peran perempuan yang seharusnya diperlukan oleh manusia yang memiliki hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja meminggirkan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan : selain menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya seperti memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya.
Dalam wacana hubungan Islam dan kesetaraan Gender perempuan, Islam memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kualitas manusia dalam Islam terletak pada prestasi seseorang mengenal perbedaan jenis kelamin. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah (QS.4: 3). Islam mengakui kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptaka dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan atas yang lain.
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Pandangan-pandangan yang mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan sering dinilai sebagai pandangan ajaran islam, adalah tidak lain bersumber dari budaya patriak yang menempatkan posisi sosial-politik laki-laki diatas perempuan, yang kemudian menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legimitasi untuk mendominasi atas peran perempuan. Dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan patriaki banyak dijumpai dalam khazanah hukum Islam (fikih). Reorientasi pemahaman agama (Islam) harus dilakukan supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada proporsi benar. [10]
Gender tidak bersifat universal, tetapi hirearki gender dapat dikatakan universal, oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep gender secara garis besar. Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hirearki gender dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1) Teori adaptasi awal
Teori adaptasi awal menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan awal dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut :
· Berburu sangat penting bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.
· Laki-lakilah yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
· Perempuan tergantung pada laki-laki untuk mendapatkan daging.
· Laki-laki berbagi daging buruannya terutama dengan isterinya dan anak-anaknya.
· Sekali pola pembagian peran berdasarkan jenis kelamin itu terbentuk, tidak berubah hingga sekarang.
2) Teori teknik lingkungan
Teori ini berdasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori ini menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi masalah sejak dulu, dalam konteks ini subordinasi perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.
3) Teori sosiobiologi
Menurut teori ini laki-laki muncul akibat seleksi alam terutama ketahanan tubuh.
4) Teori sruktural
Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus Universal. Salah satu kelompok teori yang masuk golongan struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik. Kelompok lain dari teori struktural berpendapat bahwa subordinasi itu struktural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender.pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara perempuan dengan alam dan laki-laki dengan budaya.
[1] Sumber:http://definisi-pengertian blogspot.com//2010/05/pengertian-gender html
[2] Kamaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, “Pendidikan Kewarganegaraan (civic education). op.cit .hlm. 200.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Polemik_pluralisme_di_Indonesia (diakses , Kamis, 02 Agustus 2012 , 15. 25)
[4] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm, 7.
[5] Alwi Shihab, Islam…,340
[6] Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002), 239-249.
[7] Lihat “Kekerasan Keagamaan di Kalangan Muslim: Mempertimbangkan Faktor Pendidikkan” dalam Buletin Islam & Good Governance, Edisi XIII, September (Jakarta, PPIM UIN Jakarta, 2006), 1 – 8.
[8] Ibid.
[9] Sumber:http://definisi-pengertian blogspot.com//2010/05/pengertian-gender html
[10]A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, “Pendidkan Kewarganegaraan : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani” ,(Jakarta: Prenada Media Group, 2008) hlm.127-129.