Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar sebagai
khalifah. Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang
cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai khalifah yang sah. Sementara
Umar Bin Khatthab diangkat melalui penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar
setelah mendapatkan persetujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan
khalifah guna menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri. Beliau
khawatir kalau pengangkatan itu dilakukan melalui proses pemilihan seperti pada
masanya, maka situasinya akan menjadi keruh karena kemungkinan terdapat banyak
kepentingan yang ada diantara mereka yang membuat negara menjadi tidak stabil,
sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Islam akan terhambat.[1]
Dan beberapa hari sebelum Abu Bakar wafat, balatentara Islam
sedang bertempur dalam peperangan yang paling sengit yang pernah dikenal dalam
sejarah masa itu. Kita katakan paling sengit karena peperangan itu ialah antara
kaum Muslimin di satu pihak, melawan tentara Persia dan Romawi di lain pihak.
Pada saat itu Abu Bakar sudah terpikir, bahwa yang akan
timbul perselisihan di kalangan kaum Muslimin, kalau mereka ditinggalkan
demikian saja, tiada dengan khalifah yang akan menggantikannya. Sekiranya suatu
kegoncangan terjadi pula di ibu kota, tak dapat tidak akan menimbulkan
kekalahan bagi balatentara yang sedang bertempur itu. Bahkan tidak mustahil
pula bahwa kegoncangan di pusat pemertintahan akan mengakibatkan perpecahan
dalam laskar Islam sendiri. Ada panglima yang akan mendukung seorang calon
khalifah, sedang panglima yang lain mendukung calon yang lain. dengan demikian
balatentara Islam sedang berperang dengan bangsa Persia dan Romawi akan pecah
dua yang masing-masing akan memerangi saudaranya sendiri. Kalau yang demikian
terjadi, balatentara Islam itu akan dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh
bangsa Persia dan Romawi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang di sebutkan,
inginlah Abu Bakar hendak menunjuk penggantinya, sesudah memusyawarahkan hal
itu dengan kaum muslimin. Dalam musyawarah itu dinyatakan bahwa dia akan
menunjuk penggantinya siapa yang mereka sukai.
Abu Bakar mengemukakan Umar ibnul Khatthab sebagai calon.
Dan beliau pulalah calon yang dikemukakan oleh kaum Muslimin. Tak ada orang
yang akan menempati kedudukan ini, selain Umar.[2]
Abu Bakar jatuh sakit dalam musim panas tahun 634 M, dan
selama 15 hari dia berbaring ditemapat tidur. Khalifah ingin sekali
menyelsaikan masalah peggantian dan mencalonkan seorang pengganti, kalau-kalau
hal itu akan melibatkan rakyatnya ke dalam suatu perang saudara. Meskipun dari
pengalamannya Abu Bakar benar-benar yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali
Umar bin khatthab yang dapat mengambil tanggungjawab kekhalifahan yang berat
itu, karena masih ingin mengambil pendapat umum, dia bermusyawarah dengan para
sahabat yang terpandang. Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon
umahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah : ”apakah
kalian akan menerima orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya?” kata
khalifah. “saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan
hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi pengganti saya.
Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka semua berkata
serempak “kami telah mendengar Anda dan kami akan menaati Anda.”
Kemudian dia memanggil Usman dan mendiktikan teks perintah
yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.[3]
Cerita lain dikemukakan sebagai berikut :
Sewaktu masih terbaring sakit, menjelang beliau wafat,
Khalifah Abu Bakar secara diam-diam melakukan tinjau pendapat terhadapat
tokoh-tokoh terkemuka dali kalangan Al Shahabi mengenai pribadi yang layak
untuk menggantikannya kelak. Pilihannya jatuh kepada Umar ibn Khatthab akan
tetapi ia ingin mendengarkan pendapat tokoh-tokoh lainnya.
Terlebih dahulu diundangnya Abrdurraman ibn ‘Auf dan
berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“Bagaimana pendapat anda tetang Umar?”
“Dia itu, demi Allah, terlebih utama dari siapapun yang
berada di dalam pemikiran anda. Cuma sikapnya keras.”
“Hal itu disebabkan dia menampakku terlalu lembut. Jikalau
pimpinan diserahkan kepadanya niscaya sikapnya itu akan berubah. Coba
perhatikan, hai Abu Muhammad, jikalau aku marah kepada seseorang maka dia
membela orang itu. Sebaliknya jikalau aku bersikap lunak terhadap seseorang
maka dia sengaja bersikap keras terhdap orang itu. Nah, saya minta rundingan
kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
“Baiklah.”
Pada hari berikutnya diundangnya Utsman ibn Affan dan
berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“ Bagaimana pendapat anda, hai Aba Abdillah, tentang Umar?”
“Anda lebih arif dalam hal itu”
“Benar, hai Aba Abdirrahman, tapi saya meminta pendapat
anda.”
“Pengetahuanku tetang Umar ialah hatinya baik sekalipun
sikapnya tampak keras. Tiada seorangpun serupa dia dalam lingkungan kita.”
“ Baiklah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua
saja buat sementara.”
Berikutnya iapun mengundang Thulhah ibn Ubaidillah
dan berlangsung tinjau pendapat dan tokoh ini menyatakan pendapatnya sebagai
berikut :
“Anda menunjuknya pengganti anda. Anda menyaksikan apa yang
diperbuatnya terhadap orang banyak, sedangkan anda masih hidup. Apalagi jikalau
sudah terpegang pimpinan seorang diri, dan anda berngakat ke dalam haribaan
Tuhan. Sebaliknya anda tanyakan pendapat orang banyak.”
Khalifah Abu Bakar saat itu tengah terbaring. Ia meminta
didudukkan dan dibantu mendudukkannya oleh Thulhah, dan iapun berkata :
“Apakah anda mengkhawatirkan tanggungjawabku terhadap Allah?
Jikalau ajalku sampai dan Allah bertanyakan tanggungjawabku maka aku akan
berkata :”aku telah menunjuk penggantiku, bagi kepentingan hamba-Mu, seseorang
yang terbaik dari hamba-Mu itu.”
Pada hari berikutnya, sesuai dengan anjuran Thulhah ibn
Ubaidillah, iapun mengundang orangg banyak. Ia didudukkan oleh isterinya Asmak
binti ‘Umais dan berada dalam pelukannya. Pembicaraan khalifah Abu Bakar
singkat di antara lainnya berbunyi :
“Sudilah mengemukakan pendapat kamu semuanya mengenai orang
yang akan aku tunjuk untuk penggantiku. Demi Allah, penunjukkan itu bukan tanpa
memikirkannya sungguh-sungguh dan bukan pula aku menunjuk lingkungan
keluargaku. Aku menunjuk penggantiku itu Umar ibn Khatthab. Sudilah
menerimanya dan mematuhinya.”
Jawaban serentak ketika itu berbunyi ; “Sami’na wa
Atha’na.” Yang bermakna :kami dengar dan kami patuhi.”
Abu Abdillah Muhammad Al-Waqidi (130-207H/747-822M), ahli
sejarah terkenal itu, di dalam karyanya Al-Maghazi mencatat bahwa
Khalifah Abu Bakar, setelah dibawa masuk kembali dan dibaringkan, mengundang
Utsman ibn ‘Affan dan memintanya menuliskan Amanatnya berbunyi :”Dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah perjanjian yang diikat Abu
Bakar ibn Abi Kahafah terhadap kaum Muslimin. Adapun kemudian ......”
Ia mendiktekannya berupa kata demi kata, akan tetapi sampai
di situ, iapun tak sadrkan dirinya. Utsman melanjutkan bunyi amanat itu
berbunyi :”adapun kemudian, aku menunjuk Umar ibn Khatthab untuk penggantiku,
dan hal itu untuk kebaikan semuanya.”
Belakangan iapun sadar kembali, meminta dibacakan kalimat
yang sudah di diktekannya, dan ternyata Utsman ibn ‘Affan membaca
keseluruhannya. Khalifah Abu Bakar mendadak Takbir sehabis mendengarkan isi keseluruhan
amanat itu dan berkata kepada Utsaman : “tampakku anda khawatir bahwa orang
banyak akan berbeda pendapat kembali andaikan ajalku tiba pada saat tak sadar
tadi.”
“Benar”
“Semoga Allah akan memberikan imbalannya terhadap anda atas
niat baik anda terhadap agama Islam dan pemelukknya.”
Ia pun mengundang Umar ibn Khatthab, dan menyampaikan
amanatnya, yang amat tercatat dalam sejarah, berbunyi :
“Hai Umar ibn Khatthab : Allah memikulkan tanggungjawab pada
malam hari dan jangan tangguhkan kepada siang hari, Allah memikulkan
tanggungjawab pada siang hari dan jangan tangguhkan kepada malam hari.”
“Allah akan menerima amal sunat sebelum amal fardhu
dilaksanakan. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu
akan berat pada Hari Kemudian disebabkan melaksanakan Kebenaran. Bukankah anda
tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan ringan pada Hari Kemudian
disebabkan membela Kepalsuan.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, Bahwa ayat-ayat Sukaria
itu senantiasa didampingi ayat-ayat Ancaman, dan ayat-ayat Ancaman itu
senantiasa didampingi ayat-ayat Sukaria. Tujuannya suapaya manusia itu gembira
disertai gentar. Bergembira dengan penuh harap akan tetapi bukan terhdap
hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah, hingga akan tidak gentar menghadap
Allah kelak.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita
tentang penderitaan penduduk Neraka. Jika anda mengingatnya maka ucapkanlah di
dalam diri : janganlah aku termasuk pihak itu.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang
kebahagiaan penduduk Sorga. Jikalau anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam
diri : aku akan beramal seperti amal mereka itu.”
“Itulah amanatku kepada anda. Jikalau anda memperpegangi
amanatku itu maka mudah-mudahan anda akan tidak lebih mencintai yang tak tampak
daripada yang tampak.”[4]
Setelah Abu Bakar bermusyawarah dengan para pemuka sahabat,
kemudian, mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah
kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan Umat Islam.
Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara
beramai-ramai membaiat Umar.[5]
[2] Prof. Dr.A.Syalabi, pnerjemah Prof.DR.H.Mukhtar
Yahya, 2007, sejarah & kebudayaan Islam, Jakarta : PT. Pustaka Al-Husna
Baru, cet ke-7.hlm.204
[3] Syed Mahmudunnasir, 2005, Islam Konsepsi dan
Sejarahnya, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset, 145
[4] Joesoef sou’yb, 1979, Sejarah Daulat
Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, cet ke-1, hlm 136-139
[5] Dr. Badri Yatim, M.A, 2011. Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cet ke-23, hlm 37
No comments:
Post a Comment