Tasawuf
merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau
sufisme mempelajari cara dan jalan
bagaimana seseorag Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
A.
Hasan Basri: Khauf dan Raja’
Hasan Al-Basri adalah seorang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in. Banyak sudah pengakuan
yang menyebutkan kelebihan dan keutamaan Hasan Bahsri dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama terutama ajaran tentang tasawuf. Kemasyhuran Hasan Bashri dalam
tasawuf ini menjadi perbincangan dalam kitab Qutul Qulub karangan Abu Thalib
al-Makky, Thabakat al-Qubra karangan asy-Sya’rani, kitab Halliyatul Auliya oleh
Abu Nu’aim dan lain sebagainya. Di antara mutiara hikmah yang terkandung dalam
ungkapan Hasan Bashri adalah;
1.
Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram,
lebih baik dari perasaan tenterammu yang kemudiannya menimbulkan takut.
2.
Dunia ialah tempat beramal, barang siapa yang bertemu
dengan dunia dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, akan bahagialah dia dan
beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam
dunia, lalu hatinya rindu dan perasaan tersangkut padanya, akhirnya dia akan
sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.
3.
Taffakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha
mengerjakannya, menyesal, atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya
barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang
yang baqa’ walaupun sedikit. Awaslah dirimu daripada negeri yang cepat dan cepat
pergi ini, dan penuh dengan tipuan.
4.
Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka
cita pada waktu sore, karena dia hidup di antara dua ketakutan. Takut mengenang
dosa yang lampau, apakah gerangan balasan yang akan ditimpakan Tuhan? Dan takut
memikirkan ajal yang masih tinggal, dan takut bahaya apakah yang akan sedang
mengancam.
5.
Patutlah orang yang insyaf bahwa mati sedang
mengancamnya, dan qiamat menagih janjinya.
6.
Banyak duka cita dunia memperteguh semangat amal shaleh.
Hasan al-Bashri adalah pendiri mazhab Bashrah yang
beraliran zuhud, yang berdiri di atas Khauf dan Tafkir yang dapat menghubungkan
kepada iman, hudzun dan al-Baqa. Yang keduanya itu dapan mensucikan diri dan
membawa manusia kepada sifat faqar dan ridha kepada Allah beserta surganya.
B.
Rabi’ah al-‘Adawiyah; Mahabbah (Al-Hubb al-ilahi)
Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta
kepada Tuhan.[1]
Faham mahabbah mempunyai dasar dalam Qur’an, umpamanya;
t$öq|¡sù ÎAù't ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur
“Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. (QS. Al-Maidah; 54)
Sufi yang termasyhur dalam mahabbah ialah Rabi’ah
Al-adawiah (713-801) dari Basrah di Irak. Dia hidup hanya untuk
beribadah,bertobat dan menjauhi hidup duniawi. Bahkan dalam do’anya ia tidak
mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Di antara
ucapan-ucapannya adalah sebagai berikut “aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena
takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi
karena cinta aku kepada-Nya.[2] Menurut Rabi’ah al-‘Adawiyah, Al-Hubb itu merupakan
cetusan dari perasaan rindu dan pasrah terhadap Allah, seluruh ingatan dan
perasaan tertuju kepada-Nya. Perasaan yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi’ah
menyebabkan dia mengorbankan hidupnya untuk mencintai-Nya.
“Buat hatiku, hanya Engau lah yang ku kasihi. Beri
ampunlah kepada pembuat dosa yang datang kehadiratMu. Engkaulah harapanku,
kebahagiaan dan kesenangan ku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari
Engkau”.
Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang di ucapkan oleh
Rabi’ah Al-adawiah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya sehingga
ia menolak semua tawaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Tuhan
yang di cintainya, dan siapa ingin kawin dengan dia haruslah meminta izin dari
Tuhan.[3]
C.
Dzu al-Nun Al-Mishri; Ma’rifah dalam ajaran tasawuf
Nama lengkapnya ialah Abul Faidl Dzu An Nun al-Mishri
juga dinamakan dengan Tsauban bin Ibrahim. Ia lahir pada tahn 156 H di Akhmin
(terletak di antara Sudan dan Mesir), tetapi ia mengembangkan tasawufnya di
Mesir, wafat tahun 245 H/861 M.
Ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga
hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang sufi mengatakan
:
1)
Kalau mata yang terdapat dalm hati sanubari manusia
terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan diketika yang dilihatnya hanya
Allah.
2)
Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat
kecermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3)
Yang dilihat seorang ‘arif baik sewaktu tidur maupun
bangun hanya Allah.
4)
Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang
yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya
keindahannya.[4]
Kalau cinta Rabi’ah kepada Tuhan menyebabkan ia seakan
lupa kepada Nabinya, maka al-Mishri justru menempatkan cinta kepada Rasul
sejajar dengan cinta kepada Allah. Oleh karena itu prinsip ajarannya ialah
cinta kepada Allah dan Nabi, zuhud
terhadap dunia, mengikuti kitab dan sunah
dan takut hamba akan memperturutkan syahwat.
Menurut Dzun An Nun bahwa ma’rifah terbagi menjadi tiga
yaitu, ma’rifah mukmin yang umum, ma’rifah mutakallimin dan hukama’ serta
ma’rifah Auliya dan Muqarrabin.
Alat untuk memperoleh ma’rifah oleh kaum sufi disebut sir.
Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi
dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan,
ruh untuk mencitai Tuhan dan sir untuk melihat Tuhan.[5]
D.
Abu Yazid al-Bustami: ittihad
Nama lengkapnya ialah Abu Yazid Taifur bin ‘Isa
al-Bushtami, wafat tahun 261 H/877 M.
Ittihad adalah satu tingkatan dalam tasawuf dimana
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana
yang mencintai dan yang di cintai telah
mnjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi.[6]
Dalam fana’ Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi
kehadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan, yang dapat di lihat
dari Syatahat yang di ucapkannya. Syatahat adalah ucapan-ucapan yang di ucapkan
seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerang Ittihad.[7]
Ittihad tercapai sebagaimana kelihatan dari ucapan
berikut “Tuhan berkata ”semua mereka kecuali Engkau, adalah makhluk-Ku. Aku pun
berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku dan aku adalah Engkau”.
Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai
gambaran dari diri abu Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid
telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalm Ittihad
berbicara melalui lidah Tuhan oleh karena itu, ia mengatakn kata-kata yang
kelihatannya mengandung pengakuan bahwa Abu Yazid adalah Tuhan.[8]
E.
Abu Mansur Al-Hallaj : Hulul
Nama lengkapnya ialah Abu Mughisy Husein bin Manshur
al-Hallaj, lahir di negeri Baida bagian Selatan Persia tahun 244 H/857-858 M,
akan tetapi ia dibesarkan di Kota Wasit (Irak).
Hulul ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk menambil tempat di dalamnya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalm tubuh itu di lenyapkan.[9]
Al-Hallaj Allah kelihatn mempunyai dua natur atau sifat
dasar yakni ketuhanan (Lahut) dan kemanusiaan (nasut).[10]
Menurut Al-Hallaj Allah memberi perintah kepada malaikat
untuk sujud kepada Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana Ia
menjelma dalam diri Isa a.s.
Teori Hullul ini adalah kelanjutan dari pahamnya tentang
penciptaan manusia dan alam. Kalau dalam falsafah Islam teori terjadinya alam
semesta diperkenalkan oleh Ibnu al-Farabi dengan mengubah teori emanasi dari
Neo Platonisme, maka dalam tasawf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh
al-Hallaj dengan konsep barunya yang ia sebut dengan Nur Muhammad atau Haqiqat
Muhammadiyah.menurut dia, nur Muhammad merupakan pancaran pertama dari zat
Tuhan, bersifat qadim dan sehakikat dengan zat Tuhan. Dari nur Muhammad inilah
melimpahnya alam semesta ini.
Pendapat al-hallaj dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian
persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam
falsafat al-Hallaj mengambil bentuk hullul (mengambil tempat/ inkarnasi). Dan
agar dapat bersatu itu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan
yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru
Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan diketika itu ruh Tuhan dan ruh
manusia dalam tubuh manusia.[11]
F.
Al-Ghazali : Tasawuf sunni
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Al-Ghazali, lahir di Thus. Dia adalah seorang ulama besar yang memperoleh
predikat “Hujjatul-Islam”, di samping luas ilmu dan amalnya, juga hidupnya
penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan serangan terhadap
ajaran agama baik yang datangnya dari dalam maupun yang datangnya dari luar
Islam. Dia pernah berkecimpung dalam ilmu kalam, bidang filsafat dan juga
menyelidiki ilmu kebatinan, tetapi ia tidak pernah merasa puas dengan
ajaran-ajaran yang dikemukakan tokoh-tokoh ilmu tersebut, yang akhirnya ia
memasuki bidang tasawuf. Disitulah ia merasa bahagia, karena ia mendapatkan
kebenaran yang mutlak. Pkok ajaran Al-Ghazali mengenai tasawuf dipaparkannya
dalam buku “ihya ulumuddin”, kebahagiaannya yang sejati ditemukannya melalui
ma’rifat. Ma’rifat atau ilmu sejati di dapat bukan semata-mata melalui akal.
Ma’rifat itu sebenarnya ialah mengenal Tuhan (Hadrat Rububiyah). Wujud Tuhan
meliputi segala yang wujud, tidak yang wujud melainkan Allah dan perbuatan
Allah. Kesenangan hati itu di dapat setelah diperoleh apa yang belum diketahui.
Tingkat kesenangan itu ada dua acam yaitu lezat (kepuasan), dan sa’adah (kebahagiaan).
Bertambah naiklah tingkat kepuasan dan rasa kebahagiaan. Itulah sebabnya orang
ang lebis luas ilmunya lebih merasa bahagia daripada orang yang kurang ilmu
pengetahuannya.
Seterusnya A-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang
mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu ‘arif, tidak akan mengatakan YaAllah
atau Ya Rabbi karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini, menyatakan
bahwa Tuhan ada di belakang tabir.[12]
G.
Ibnu Arabi: Wahdat al-Wujud
Nama aslinya ialah Muhammad bin Ali Ahmad bin Abdullah,
sering juga digelari Abu Bakr. Muhyiddin atau al-Hattimy, namanya yang populer
ialah Ibnu ‘Araby, lahir di Andalusia pada tahn 598 H/1102 M, meninggal di
Damaskus tahun 638 H/1240 M.
Wahdat al-Wujud berarti kesatuan. Dalam faham nasut yang
ada dalam hullul dirubah oleh Ibn al-Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut
menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek
yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang disebelah dalam disebut haq.[13]
Makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud
Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud
selain Tuhan tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tak ada. Tuhanlah
sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud
yang bergantung pada wujud di luar dirinya yaitu Tuhan. Dengan demikian yang
mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini pada
hakikatnya bergantung pada wujud Tuhan. Yang dijadikan sebenarnya tidak
mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan
demikian hanya ada satu wujud, wujud Tuhan.[14]
[1] Dr. Harun
Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hal 63
[2] Ibid,
hal 64-65
[3] Ibid, hal
67
[6] Ibid,
hal 75
[7] Ibid, hal
76
[10] Ibid, hal
81
[11] Ibid,
hal 82
[14] Ibid,
hal 85-86