Latar
Belakang
Belajar
bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri peserta didik. Perubahan
sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti
perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku ketrampilan, kecakapanya, kemampuannya,
daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi, belajar adalah suatu proses yang
aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada peserta didik.
Belajar mengandung makna suatu proses dengan arahan pada suatu tujuan, proses berbuat
melalui situasi yang ada pada peserta didik.
Belajar
merupakan sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan
bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan
sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan
karsa manusia tersebut. Belajar bermakna sebuah pembaharuan kepada pengembangan diri setiap individu agar kehidupannya bisa lebih baik dari sebelumnya. Belajar pula
bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia dengan
lingkungan tersebut.
Secara garis besar, teori belajar selalu sambung-sambungkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga
membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat
diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. seperti yang sering kita jumpai adalah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor.
Pembelajaran perlu didukung oleh adanya teori dan belajar, secara umum teori belajar
dikelompokan dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar
Behavioristik (2) Teori Belajar Kognitifistik (3) Teori Belajar
Konstruktifistik (4) Teori Belajar Humanistik.
Salah satu teori belajar yaitu
humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka
(antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah
kehidupannya. Teori ini menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas
permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien
menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, dalam Sudrajat bahwa
teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting
dalam melakukan treatment kepada klien. (Sudrajat, 2013).
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah
ini:
1. Apa itu teori belajar sosial-humanistik?
2. Siapa saja tokoh dalam teori belajar sosial-humanistik?
3. Apa-apa saja konsep teori masing-masing tokoh?
4. Bagaimana aplikasi teori belajar sosial-humanistik dalam pembelajaran
Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, makalah ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apa itu teori belajar sosial-humanistik.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh teori belajar sosial-humanistik.
3. Untuk mengetahui konsep teori masing-masing tokoh.
4. Untuk mengetahui aplikasi teori belajar sosial-humanistik dalam
pembelajaran.
Pengertian
Teori Belajar Sosial-Humanistik
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang penting, dalam
upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Melalui belajar seseorang
dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah
laku, sikap, dan ketramdpilan. Pernyataan di atas didukung oleh Melvih H. Marx
dalam Prawira (2002: 84) bahwa “Belajar adalah perubahan yang dialami secara relatif
abadi dalam tingkah laku yang dasarnya merupakan fungsi dari tingkah laku
sebelumnya. Dalam hal ini sering disebut praktik atau latihan” Kutipan diatas
dapat diartikan bahwa belajar membutuhkan waktu dan melalui proses perubahan
perilaku dan pola pikir dari seseorang.
Proses belajar dianggap
berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya siswa mampu mencapai aktualisasi diri dengan optimal. Tujuan utama
para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam
diri mereka.
Sedangkan teori belajar merupakan teori yang mendeskripsikan apa yang sedang terjadi
saat proses belajar berlangsung dan kapan proses belajar itu berlangsung
(Thobroni, 2015: 14). Melalui teori belajar kita akan tahu apa yang
sebenarnya terjadi dan membantu
memahami bagaimana proses
pembelajaran. Jadi, teori belajar merupakan landasan untuk menghasilkan pengajaran yang baik, manjemen yang
baik dengan menggunakan teori belajar yang relevan, sesuai dan disukai sehingga
tujuan belajar yang diinginkan bisa tercapai.
Teori belajar sosial adalah suatu teori pembelajaran yang mengedepankan
tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan
situasi sosial. teori belajar humanistik juga berbicara teori pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusia dan peserta didik bisa mengembangkan potensi
dirinya. Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus
berpusat pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan
pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak
berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling
ideal. Artinya teori ini lebih terarah pada ide belajar, bentuk yang paling ideal dari pada belajar itu apa adanya, apa
yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan
asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” atau mencapai aktualisasi diri tercapai.
Teori belajar humanistik mengatakjan bahwa belajar
dianggap berhasil jika si pelajar faham lingkungannya dan dirinya sendiri.
Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar seperti ini berusaha
memahami perilaku belajar berdasarkan sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya. (Uno, 2006: 13)
Berikut ini adalah para tokoh dalam teori belajar social-humanistik, yaitu John Dewey, Herbert Thelen,
Gordon W. Allport, Kurt Lewin dan Carl R. Rogers.
B. Tokoh-Tokoh
Teori Belajar Sosial-Humanistik
1.
Teori
John Dewey
a. Riwayat
Hidup
John
Dewey (1859 – 1952) adalah seorang filsuf, teoritikus, serta kritikus sosial
yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat di awal dan pertengahan abad XX. Di
pusat penelitian ini ia memulai penelitian mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis
sekolah-sekolah. Hasilnya ia meninggalkan pola dan proses pedidikan tradisional
yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia
menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah.
Dalam
praktiknya, Dewey menganjurkan metode pembelajaran learning by doing (belajar sambil melakukan) dan problem solving sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna
dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dewey telah banyak
memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan dan disebut sebagai
Bapak Pendidikan Modern.
b. Konsep
Dasar Teori
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung
pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya
saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain
(Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman
dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan
hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari
pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling
terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil
maksimal.in
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1944: 89-90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011),
pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna
pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman
selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme
disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan
oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada
keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut
yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori
kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat
relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan teori
konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan
teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey membagi perkembangan moral
anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap
conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011). Selanjutnya John
Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan,
yaitu:
- Tahap
premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal
atau sosial.
- Tahap
convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis
berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
- Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai
bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan
dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
2.
Teori Herbert Thelen
a. Riwayat
Hidup
Herbert Thelen (1931 – 2008), seorang Profesor
berkebangsaan California yang karyanya berorientasi pada pengembangan proses
pengkajian akademis sebagai upaya dalam mengkombinasikan strategi mengajar
(Sudjana, dalam Mudrika, 2007:15). Thelen dikenal sebagai salah satu yang mengembangkan
model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) yaitu metode pembelajaran yang mengutamakan kerjasama yang saling
menguntungkan. Thelen mengembangkan prosedur-prosedur yang lebih teliti untuk
membantu siswa bekerja dalam kelompok.
Ada beberapa
tipe yang dapat diterapkan dalam model pembelajaran kooperatif antara lain: 1) Student Team Achievement Divisions
(STAD); (2) Jigsaw; (3) Group
Investigation (GI); dan (4) Strukural yang meliputi Think Pair Share (TPS) dan Number
Head Together (NHT). Model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) inilah yang
dirancang oleh Thelen yang menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur
demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends,
1998).
b. Konsep
Dasar Teori
Salah satu model pembelajaran yang mendukung
keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar adalah model pembelajaran Group investigation (GI) (Krismanto,
2003:6). Group Investigation
merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan
aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan
dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau
siswa dapat mencari melalui internet.
Selanjutnya Thelen (Joyce dan Weil, 1980:332)
mengemukakan tiga konsep utama dalam pembelajaran GI, yaitu:
a.
Inquiry
Inquiry
artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui
proses berfikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil
dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dalam proses
perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal,
akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan
sendiri materi yang harus dipahaminya. Komponen menemukan merupakan kegiatan
inti dari Model pembelajaran GI. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap
fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan
temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan
keterampilan yang dimilki oleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat
fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.
b.
Knowledge
Pengalaman
belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Davenport and Prusak (1998) mendefinisikan pengetahuan secara luas dengan
pengetahuan merupakan campuran dari pengalaman, nilai, informal kontekstual,
dan pandangan pakar yang memberikan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan
pengalaman baru dan informasi.
c.
The
dynamics of the learning group
Dalam
model pembelajaran GI, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan
menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam
kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan
dan kecepatan belajarnya, maupun dari bakat ataupun minatnya. Dalam
pembelajaran kelompok diharapkan setiap anggota dalam kelompok saling memberi;
yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lemah, yang memiliki kemampuan
tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelebihan GI menurut
Setiawan (2006:9), yaitu sebagai
berikut:
1. Secara Pribadi
o
Dalam proses
belajarnya dapat bekerja secara bebas
o
Memberi
semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif
o
Rasa percaya
diri dapat lebih meningkat
o
Dapat belajar
untuk memecahkan, menangani suatu masalah
o
Mengembangkan
antusiasme dan rasa pada fisik
2. Secara Sosial
o
Meningkatkan
belajar bekerja sama
o
Belajar
berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun guru
o
Belajar
berkomunikasi yang baik secara sistematis
o
Belajar
menghargai pendapat orang lain
o
Meningkatkan
partisipasi dalam membuat suatu keputusan
3. Secara Akademis
o
Siswa
terlatih untuk mempertanggungjawabkan jawaban yang diberikan
o
Bekerja
secara sistematis
o
Mengembangkan
dan melatih keterampilan fisika dalam berbagai bidang
o
Merencanakan
dan mengorganisasikan pekerjaannya
o
Mengecek
kebenaran jawaban yang mereka buat
o
Selalu
berfikir tentang cara atau strategi yang digunakan sehingga didapat suatu
kesimpulan yang berlaku umum.
Sedangkan
kelemahan GI menurut Setiawan (2006:9), yaitu
sebagai berikut:
1. Sedikitnya materi yang tersampaikan pada satu kali
pertemuan
2. Sulitnya memberikan penilaian secara personal
3. Tidak semua topik cocok dengan model pembelajaran
GI, model pembelajaran GI cocok untuk diterapkan pada suatu topik yang menuntut
siswa untuk memahami suatu bahasan dari pengalaman yang dialami sendiri
4.
Diskusi
kelompok biasanya berjalan kurang efektif
Siswa
yang tidak tuntas memahami materi prasyarat akan mengalami kesulitan saat
menggunakan model ini.
4.
Teori
Gordon W. Allport
a. Riwayat
Hidup
Allport lahir pada 11 november 1897, di Montezuma, Idiana
sebagai anak keempat dari pasangan John
E. Allport dan Nellie Wise Allport.Kehidupanya ditandai oleh ketaatan agama
Protestan.Saat Gordon berusia 6 tahun, keluarganya telah berpindah sebanyak
tiga kali sampai akhirnya menetap di Cleveland, Ohio. Allport mengembangkan
minat awal pada pertanyaan-pertanyaan religius dan filosofis serta mempunyai
lebih banyak fasilitas untuk membaca dari pada bermain.
Pada tahun 1915, Alport masuk ke Harvard mengikuti jejak
kakaknya yaitu Floyd yang lulus 2 tahun sebelumnya dan merupakan asisten
sarjana di jurusan psikologi. Dalam autobiografinya, Gordon Allport (1967)
menuliskan “ hampir semalam, saya telah berubah. Nilai-nilai moral dasar saya
pastinya telah dibentuk dari rumah. Masuknya Alport ke Harvard, juga menandai
awal dari 50 tahun hubungannya dengan universitas tersebut. Saat menerima gelar
sarjana psikologi dan ekonomi pada tahun 1919 ia masih tidak yakin dengan
karirnya dimasa depan. Ia telah mengikuti kuliah psikologi dan etika sosial dan
kedua ilmu tersebut memberikan kesan mendalam baginya. Saat diberikan
kesempatan untuk mengajar diturki, ia melihat sebagai suatu kesempatan untuk
mengetahui apakah ia akan menikmati menjadi pengajar. Ia melewatkan tahun tahun
akademisnya antara tahun 1919-1920 di Eropa dengan mengajar bahasa inggris dan
sosiologi di Robert College di Istambul.
b. Konsep
Dasar Teori Allport
1) Struktur
dan Dinamika Kepribadian
Bagi
Allport struktur kepribadian itu terutama dinyatakan dalam sifat-sifat (traits)
dan tingkah laku didorong oleh sifat-sifat (traits). Jadi struktur dan
dinamika itu pada umumnya satu dan sama. Allport berpendapat bahwa
masing-masing pengertian refleks bersyarat, kebiasaan, sikap, sifat, diri (self)
dan kepribadian itu kesemuanya masing-masing adalah bermanfaat.
Tetapi
walaupun semua pengertian itu diterima dan dianggap penting, namun tekanan
utama diletakkannya pada sifat (trait), sedangkan disamping itu sikap (attitude)
dan intensi (intentions) diberinya kedudukan yang kira-kira sama,
sehingga ada yang menamakan psikologi Allport itu adalah “trait psychology”.
2) Kepribadian Watak dan Temperamen
Menurut
Allport, kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem
psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan.
Watak
(karakter), Allport menunjukkan bahwa biasanya kata
watak menunjukkan arti normatif, dia menyatakan bahwa “karakter adalah kepribadian yang menilai, dan kepribadian
adalah karakter yang tidak menilai” (Alwisol, 2004: 274).
Temperamen
adalah
gejala karakteristik daripada sifat emosi individu, termasuk juga mudah
tidaknya kena rangsangan emosi, kekuatan serta kecepatannya bereaksi, kualitas
kekuatan suasana hatinya, segala cara daripada fluktuasi dan intensitas suasana
hati. Gejala ini tergantung kepada faktor konstitusional dan karenanya terutama
berasal dari keturunan.
3) Sifat
(Trait)
Sifat
adalah sistem neuropsikis yang digeneralisasikan dan diarahkan, dengan
kemampuan untuk menghadapi bermacam-macam perangsang secara sama, memulai serta
membimbing tingkah laku adaptif dan ekspresif secara sama. Perbedaan sifat
dengan pengertian yang lain:
·
Kebiasaan
(habit)
Sifat (trait) dan kebiasaan (habit)
kedua-daunya adalah tendens determinasi, akan tetapi sifat itu lebih umum, baik
dalam situasi yang dicocokinya, maupun dalam response yang terjelma darinya.
·
Sifat
(attitude)
Bagi Allport perbedaan antara pengertian sifat (trait)
dan sikap (attitude). Bagi kedua-duanya itu adalah predisposisi untuk
berespon, kedua-duanya adalah khas, kedua-duanya dapat memulai atau membimbing
tingkah laku, kedua-duanya adalah hasil dari faktor genetis dan belajar.
·
Tipe
Allport membedakan antara sifat dan tipe. Menurut dia
orang dapat memiliki sesuatu sifat, tetapi tidak dapat memiliki sesuatu tipe.
Tipe adalah konstruksi ideal si pengamat, dan seseorang dapat disesuaikan
dengan tipe itu tetapi dengan konsekuensi diabaikan sifat-sifat khas
individualnya. Sifat dapat mencerminkan sifat khas pribadi sedangkan tipe malah
menyembunyikannya. Jadi bagi Allport, tipe menunjukkan perbedaan-perbedaan
buatan yang tak begitu cocok dengan kenyataan, sedangkan sifat adalah refleksi
sebenarnya daripada yang sebenar-benar ada.
4) Perkembangan Kepribadian
Melihat
teori otonomi fungsional itu nyatalah
bahwa individu itu dari lahir itu mengalami perubahan-perubahan yang penting.
·
Kanak-kanak
Dalam masa ini anak itu merupakan makhluk yang punya
tegangan-tegangan dan perasaan enak tak enak. Pertumbuhan itu bagi Allport
merupakan proses diferensiasi dan integrasi yang berlangsung terus-menerus.
Jadi beberapa tingkah laku anak itu merupakan perintis bagi pola-pola
kepribadian selanjutnya. Allport menyimpulkan, bahwa setidak-tidaknya pada bagian kedua tahun pertama anak telah
menunjukkan dengan pasti sifat-sifat yang khas.
·
Transformasi
Kanak-kanak
Menurut Allport manusia itu adalah organisme yang pada
waktu lahirny adalah makhluk biologis, lalu berubah/berkembang menjadi individu
yang egonya selalu berkembang, struktur sifat-sifatnya meluas dan merupakan
inti daripada tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi masa depan. Di dalam
perkembangan ini tentu saja peranan yang menentukan ada pada otoonomi
fungsional.
·
Orang
Dewasa
Pada orang dewasa faktor-faktor yang menentukan tingkah
laku adalah sifat-sifat (traits) yang terorganisasikan dan selaras. Sifat-sifat
ini timbul dalam berbagai cara dari perlengkapan-perlengkapan yang dimiliki
neonatus. Bagi Allport tidaklah penting, yang penting ialah yang ada kini.
Kelebihan
Teori Allport
·
Menekankan keunikan kepribadian
·
Dapat memotivasi orang agar dapat
berkembang menjadi individu yang unggul
·
Menyajikan aspek positif tingkah laku
manusia dengan cara yang menghormati keunikan setiap organisme hidup.
·
Bersifat pluralistis dan ekletik
Kekurangan
Teori Allport
·
Tidak memadai untuk banyak penelitian
·
Gagal menunjukkan konsep pokok yaitu
fungsi otonomi
·
Memberikan perhatian yang terlalu
sedikit pada pengaruh sosial dan faktor situasioanal
·
Menggambarkan manusia pada gambaran
terlalu positif
5.
Teori
Kurt Lewin
a. Riwayat Hidup
Kurt Lewin lahir pada
tanggal 9 September 1890 disuatu desa kecil di Prusia, daerah dosen. Ia adalah
anak kedua dari empat bersaudara, Lewin menyelesaikan sekolah menengahnya di
Berlin tahun 1905 kemudian ia masuk Universitas di Freiburg dengan maksud
belajar ilmu kedokteran, tetapi ia segera melepaskan idenya ini dan setelah
satu semester belajar psikologi pada universitas di sana. Setelah meraih gelar
doktornya pada tahun 1914, Lewin bertugas di ketentaraan Jerman selama empat
tahun. Pada akhir perang ia kembali ke Berlin sebagai instruktur dan asisten
penelitian pada lembaga Psikologi.
Lewin menghabiskan sisa
sisa hidupnya di Amerika Serikat. Ia adalah profesor dalam bidang psikologi
anak-anak pada Universitas Cornell selama dua tahun (1933-1935) sebelum
dipanggil ke Universitas negeri Iowa sebagai profesor psikologi pada Badan
Kesejahteraan Anak. Pada tahun 1945, Lewin menerima pengangkatan sebagai
profesor dan direktur Pusat Penelitian untuk dinamika kelompok di Institut
Teknologi Massachussetts. Pada waktu yang sama, ia menjadi direktur dari
Commission of Community Interrelation of The Amerika Jewish Congress, yang
aktif melakukan penelitian tentang masalah masalah kemasyarakatan. Ia meninggal
secara mendadak karena serangan jantung di Newton Ville, Massachussetts, pada
tanggal 9 Februari 1947 pada usia 56 tahun.
b. Konsep Dasar Teori
Teori medan kognitif (cognitive
field theory) dikemukakan oleh Kurt Lewin dan disebut pula dengan
“topologi” (topologi theory). Lewin juga menggolongkan teori medan
sebagai “suatu metode untuk menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk
membangun konstruk-konstruk ilmiah”. Menurut teori ini, belajar adalah
perubahan dalam struktur kognitif, atau dalam cara menanggapi kejadian-kejadian
dan memberikan makna kepadanya. Jadi, yang ditekankan dalam belajar adalah proses kognitif bukannya pada
produk tertentu. Mempelajari geometri, misalnya, yang penting adalah menemukan
prinsip-prinsip yang mengorganisasikan bukannya malah menemukan
jawaban khusus.
Ciri-ciri utama dari teori Lewin, yaitu :
· Tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang
ada pada waktu tingkah laku itu terjadi.
· Analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan
dari mana bagian bagian komponennya
dipisahkan.
· Orang yang kongkret dalam situasi yang kongkret dapat
digambarkan secara matematis.
Teori ini
membahas mengenai struktur, dinamika dan perkembangan kepribadian yang
dikaitkan dengan lingkungan psikologis, dimana konsep-konsep ini telah
diterapkan dalam berbagai gejala psikologis dan sosiologis.
1.
Struktur
Kepribadian
Konsep struktural yang paling umum
dalam teori lewin adalah ruang hidup, lingkungan psikologis dan pribadi.
a. Ruang hidup, yang mengandung
kemungkinan fakta yang dapat menentukan tingkah laku individu.
Secara matematis : TL = f (RH) TL (tingkah laku), f (fakta), RH (ruang hidup)
Fakta fakta non psikologis dapat dan
sungguh-sungguh
mengubah fakta-fakta
psikologis. Fakta-fakta
dalam lingkungan psikologis dapat juga menghasilkan perubahan- perubahan dalam dunia fisik. Ada
komunikasi dua arah antara ruang hidup dan dunia luar bersifat dapat ditembus
(permeability), tetapi dunia fisik (luar) tidak dapat berhubungan langsung
dengan pribadi karena suatu fakta harus ada dalam lingkungan psikologis sebelum
mempengaruhi/dipengaruhi oleh pribadi.
b.
Lingkungan psikologis, Meskipun pribadi
dikelilingi oleh lingkungan psikologinya, namun ia bukanlah bagian dalam
lingkungan tersebut. Dalam hal ini fakta-fakta lingkungan dapat mempengaruhi
pribadi.
Secara Matematis : P = f (LP), P (pribadi), LP (lingkungan psikologi).
c.
Pribadi,
Menurut Lewin pribadi adalah heterogen. Terbagi menjadi bagian-bagian yang
terpisah meskipun saling berhubungan dan saling tergantung. Daerah
dalam personal dibagi menjadi sel sel. Sel sel yang berdekatan dengan daerah
konseptual motor disebut sel sel periferal ;p; sel sel dalam pusat lingkaran
disebut sel sel sentral s. Sistem motor bertidak sebagai suatu kesatuan karena
biasanya lahannya dapat melakukan suatu tindakan pada satu saat. Begitu pula
dengan sistem perseptual artinya orang hanya dapat memperhatikan dan
mempersepsikan satu hal pada satu saat. Bagian bagian tersebut mengadakan
komunikasi dan interdependen; tidak bisa berdiri sendiri.
2. Dinamika Kepribadian
Dinamika kepribadian menurut kurt
lewin dalam Alwisol (2004: 380-382):
a) Energy, muncul dari perbedaan
tegangan antar sel atau antar region.
b) Tegangan, dibagi menjadi 2 yaitu
tegangan yang cenderung menjadi seimbang dan cenderung untuk menekan bondaris sistem
yang mewadahinya.
c) Kebutuhan, mencakup pengertian
motif, keinginan dan dorongan.
d) Tindakan (action)
e) Valensi, adalah nilai region dari
lingkungan psikologis bagi pribadi. Region valensi positif dapat mengurangi
tegangan dan region valensi negative dapat meningkatkan tegangan (rasa takut)
f) Vector, tingkah laku atau gerak
seseorang akan terjadi kalau ada kekuatan yang cukup mendorongnya. Lewin menyebutnya
dengan vector. Arah dan kekuatan vector merupakan fungsi dari valensi positif
dan negative.
g) Lokomosi, lingkaran pribadi dapat
pindah dari satu tempat ketempat lain di dalam daerah lingkungan psikologis.
Perpindahan lingkaran itu disebut lokomosi. Lokomosi bisa berupa gerak fisik
atau perubahan fokus perhatian.
h) Event, adalah hasil interaksi antara
2 atau lebih fakta baik didaerah pribadi maupun didaerah lingkungan.
i)
Konflik,
terjadi didaerah lingkungan psikologis. Lewin mendefinisikan konflik sebagai
situasi dimana seseorang menerima kekuatan-kekuatan yang sama besar tapi
arahnya berlawanan. Lewin memagi konflik menjadi 3 tipe, yaitu:
ü Konflik tipe 1, Konflik yang
sederhana terjadi kalau hanya ada 2 kekuatan yang mengenai individu. Konflik
semacam ini disebut konflik tipe 1 (Gambar-15a). Ada tiga macam konflik tipe 1:
§
Konflik mendekat-mendekat, dua kekuatan
mendorong ke arah yang berlawanan, misalnya orang dihadapkan pada dua pilihan
yang sama¬sama disenanginya.
§
Konflik menjauh-menjauh, dua kekuatan
menghambat ke arah yang yang berlawanan, misalnya orang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama-sama tidak disenanginya.
§ Konflik
mendekat-menjauh, dua kekuatan mendorong dan menghambat muncul dari satu
tujuan, misalnya orang dihadapkan pada pilihan sekaligus mengandung unsur yang
disenangi dan tidak disenanginya.
ü Konflik tipe 2, Konflik yang
kompleks bisa melibatkan lebih dari dua kekuatan. Konflik Ini dapat memuat
seseorang terpaku dan tidak dapat menentukan pilihan.
ü Konflik tipe 3, Seseorang berusaha
mengatasi kekuatan-kekuatan penghambat, sehingga konflik menjadi terbuka,
ditandai dengan sikap kemarahan, agresi , pemerontakan atau sebaliknya
penyerahan diri yang neorotik.
j)
Tingkat
Realita, konsep realita menurut Lewin adalah realita berisi lokomosi actual,
dan tak realita berupa lokomosi imajinasi.
k) Menstuktur Lingkungan
Lingkungan psikologi adalah konsep
yang sangat mudah berubah. Dinamika dari lingkungan dapat berubah dengan 3 cara
yakni:
§ Perubahan valensi : Region bisa
berubah secara kuantitatif-valensinya semakin positif atau semakin negatif,atau
berubah secara kualitatif dari positif menjadi negatif atau sebaliknya region
baru bisa muncul dan region lama bisa hilang.
§ Perubahan vektor : Vektor mungkin
dapat berubah dalam kekuatan dan arahnya.
§ Perubahan Bondaris : Bondaris
mungkin menjadi semakin permeabel atau semakin tidak permeabel,mungkin muncul
sebagai bondaris atau tidak muncul sebagai bondaris.
l ) Mempertahankan Keseimbangan
Dalam
sistem reduksi tegangan,tujuan dari proses psikologis adalah mempertahankan
pribadi dalam keadaan seimbang. Yang paling umum dan paling efektif untuk
mengembalikan keseimbangan adalah melalui lokomosi dalam lingkungan
psikologis,memindah pribadi ke region tempat objek yang bervalensi positif(yang
memberi kepuasan). Tapi kalau region yang diinginkan mempunyai bondaris yang
tak permeabel tegangan terkadang dapat dikurangi(dan keseimbangan dapat
diperoleh)dengan melakukan lokomosi pengganti,pindah ke region yang dapat
memberi kepuasan lain(yang bondarisnya permeabel) ternyata dapat menghilangkan
tegangan dari system kebutuhan semula.
Kecenderungan
mencapai keseimbangan itu tidak berarti membuat diri seimbang sempurna,tetapi
menyeimbangkan semua tegangan dalam daerah pribadi-dalam. Lewin menjelaskan
bahwa dalam sistem yang kompleks menjadi seimbang bukan berarti hilangnya
tegangan,tetapi mempeoleh keseimbangan dari tegangan internal. Tujuan utama
dari perkembangan psikologis adalah menciptakan semacam struktur internal yang
menjamin keseimbangan psikologis bukan membuat bebas tegangan.
3. Perkembangan Kepriadian, menurut
lewin hakekat perkembangan kepribadian itu adalah: diferensiasi, perubahan
dalam variasi tingkah lakunya, perubahan dalam organisasi dan struktur tingkah
lakunya lebih kompleks, serta bertamah luas karena aktivitas dan perubahan
dalam realitas.
Meskipun teori ini mempunyai banyak kelebihan atau
jasa, namun teori ini juga mempunyai kekurangan, yaitu:
·
Psikologi
tidak dapat mengabaikan lingkungan objektif. Ruang hidup bukanlah suau sistem
psikologis yang tertutup. Di suatu pihak, ruang hidup dipengaruhi oleh dunia
luar, dan di lain pihak ruang hidup menghasilkan perubahan-perubahan dalam
dunia objektif.
·
Lewin kurang
memperhatikan sejarah individu pada masa lalu sebagai penentu tingkah laku. Ini
merupakan resiko teori yang mementingkan masa kini dan masa yang akan datang.
Teori ini juga terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang mendalam dari
kepribadian sehingga mengabaikan tingkah laku motoris yang nampak dari luar.
·
Lewin
menyalahgunakan konsep ilmu alam dan konsep matematika. Memang tidak mudah
memahami jiwa dengan memakai rumus-rumus matematika. Bahkan Lewin berani
mengambil resiko dengan memakai istilah-istilah dalam matematika dan fisika
untuk dipakai dalam psikologi dengan makna yang sangat berbeda dengan makna
aslinya.
·
Penggunaan
konsep-konsep topologi telah menyimpang dari arti sebenarnya. Penggambaran
topologis dan vaktorial dari Lewin tidak mengungkapkan sesuatu yang baru
tentang tingkah laku. Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan
secara jelas sehingga memberikan arti yang kabur.
6.
Teori
Carl R. Rogers
a.
Riwayat
Hidup
Carl Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois, Chicago. Ia
lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang
agama, tetapi akhirnya berpindah ke bidang psikologi. Rogers mempelajari
Psikologi Klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D tahun 1931.
Sebelumnya ia merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan
pada anak. Gelar Profesor diterima di Ohio State tahun 1940. Tahun 1942, ia
menulis buku pertamanya berjudul Counseling and Psychoterapy, dan secara
bertahap mengembangkan konsep Client-Centered Therapy. Rogers membedakan
dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental
(pengalaman atau signifikansi).
b.
Konsep
Dasar Teori
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah
satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang
terkandung didalamnya. Rogers
menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa
dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia
seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang
manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar
teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, dimana humanisme
adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia
sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk
merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian
berubah dan berkembang, dan ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam
teorinya: Organisme, Medan fenomena, dan self.
1. Organisme adalah keseluruhan individu (the total
individual). Organisme memiliki sifat-sifat berikut:
·
Organisme
bereaksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
·
Organisme
memiliki satu motif dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan, dan
mengembangkan diri.
·
Organisme
mungkin melambangkan pengalamannya. Sehingga hal itu disadari atau mungkin
menolak pelambangan itu. Sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari atau
mungkin juga organisme itu tak memperdulikan pengalaman-pengalamannya.
2.
Medan
fenomena adalah keseluruhan pengalaman (the totality experience), baik yang internal maupun eksternal, baik disadari
maupun tidak disadari. Medan fenomena ini merupakan seluruh pengalaman pribadi
seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.
3.
Self
adalah bagian
medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan
dan penilaian sadar. Self mempunyai bermacam-macam sifat:
·
Self berkembang dari interaksi organisme
dengan lingkungan.
·
Self mungkin menginteraksikan
nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam bentuk yang tidak wajar.
·
Self menginginkan konsistensi
(keutuhan/kesatuan, keselarasan).
C.
Aplikasi
Teori Belajar Sosial-Humanistik
1.
Aplikasi
Teori John Dewey
Menurut John Dewey dalam (Anwar Holil,
2008) metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir
aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan
yang definitif melalui lima langkah.
1.
Siswa
mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2.
Selanjutnya
siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang
dihadapinya.
3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil
analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna
memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya
sendiri.
4. Kemudian
ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
5. Selajutnya
ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya
terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu.
Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya
kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan
masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.
2.
Aplikasi Teori Herbert Thelen
Tahapan-tahapan dalam
model pembelajaran GI sebagai berikut.
1. Tahap
mengidentifikasi topik dan pengelompokan.
Para siswa memilih berbagai sub topik dalam suatu wilayah
masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa
selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada
tugas (task oriented groups) yang
beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok pada pembelajaran ini
heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik.
2. Tahap merencanakan penyelidikan kelompok
Para
siswa beserta guru merencakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan
tujuan umum yang konsisten dengan topik dan subtopik yang telah dipilih dari
langkah (1) di atas
3.
Tahap
melaksanakan penyelidikan
Para
siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b. Pembelajaran
harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas
dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber, baik yang terdapat
di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan
tiap kelompok dan memberikan bantuan jika deperlukan.
4.
Tahap
menyiapkan laporan akhir
Para
siswa menganalisis dan mengsintesis berbagai informasi yang diperoleh pada
langkah c. dan merencakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yan
menarik di depan kelas.
5.
Tahap
menyajikan laporan
Semua
kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang
telah dipelajari agar siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu
perspektif yang luas mengenai topik tersebut.
6.
Tahap
evaluasi
Guru
beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap
pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa
secara individu atau kelompok dan bahkan kedua-duanya.
3.
Aplikasi Teori Gordon W. Allport
Aplikasi
teori kepribadian Allport di masyarakat contohnya bila seseorang di masa kecil
dia masih belum menjadi pribadi yang dewasa tetapi saat umurnya semakin
bertambah maka dia menjadi pribadi yang lebih dewasa. Misalnya anak kecil belum
bisa berpikir inovatif mereka lebih ingin meniru orang–orang di sekitarnya
tetapi makin dewasa mereka bisa memunculkan ide–ide yang inovatif.
Aplikasi pembelajaran matematika
dalam teori ini berhubungan dengan lingkungan (alam)
atau yang didapat dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh
aplikasi teori Allport dalam Matematika :
1. Masalah berkaitan dengan volume
bangun ruang
Bu
Mira mempunyai 1 kaleng penuh berisi beras. Kaleng tersebut berbentuk tabung
dengan diameter 28 cm dan tinggi 60 cm.
setiap hari Bu Mira menanak nasi dengan mengambil 2 cangkir beras. Jika cangkir
berbentuk tabung dengan diameter 14 cm dan tinggi 8 cm, persediaan beras akan
habis dalam waktu …hari.
a. Diketahui
:
Kaleng berbentuk tabung
Diameter
= d = 28 cm
Tinggi = 60 cm
Cangkir berbentuk tabung
Diameter
= d = 14 cm
Tinggi
= 8 cm
b. Ditanya
:
Persediaan beras akan habis dalam
waktu … hari ?
Waktu
persediaan beras akan habis. Jadi,
persediaan beras akan habis dalam waktu 15 hari.
4.
Aplikasi Teori Kurt Lewin
Contoh
nyata aplikasi teori kurt lewin dalam lingkungan masyarakat sangat beragam,
salah satunya seseorang anak SMA yang baru lulus dan memasuki perguruan tinggi,
dia akan menemui lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya.
Seperti mata pelajaran yang lebih banyak atau materi yang lebih sulit serta
mendalam. Maka akan timbul hambatan-hambatan dalam dirinya dalam mempelajari
materi yang baru. Namun karena adanya fakta-fakta dalam lingkungan psikologiya;
seperti ia harus lulus tepat waktu atau harus mendapat IP bagus, maka ia akan
berusaha mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
lingkungan psikologis sangat mempengaruhi pribadi dalam bertidak.
5.
Aplikasi
Teori Carl R. Rogers
Aplikasi
teori belajar humanistik dalam pendidikan:
a. Pendidikan humanistik
Menurut
rogers (dalam Palmer, 2003) dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat yang
positif, empati, dan suasana yang harmonis/ tulus, untuk mencapai perkembangan
yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri. salah satu cara untuk
mendeskripsikan pendidikan humanistik adalah dengan melihat apa yang terjadi di
kelas.
b. Pendidik yang humanistik
Psikologi
humanistic memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Fasilitator sebaiknya
memberi perhatian kepada pencintaan suasana awal, situasi kelompok, atau
pengalaman kelas. Fasilitator antara lain berfungsi untuk:
1) Membantu untuk memperoleh dan
memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan
kelompok yang bersifat lebih umum.
2) Mempercayai adanya keinginan dari
tiap siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya.
3) Mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
Aplikasi
teori humanistik
terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik
adalah menjadi fasilitator bagi para siswa. Sedangkan guru memberikan motivasi,
kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya
sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya
secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negative.
Contoh aplikasi teori Rogers dalam
Matematika :
Mencari bilangan yang tidak diketahui
1.
Pertanyaan
Berapa nilai yang tidak diketahui
dari… - 7 = 13?
2.
Pemecahan masalah
Misalkan nilai
yang tidak diketahui = x
x – 7 = 13
x – 7 + 7 = 13 + 7 kedua sisi (+7)
x = 20
3.
Demonstrasi
Yang
mendemonstrasikan harus “sudah tahu” hasilnya 20.
Taruh 20 kelereng
dalam sebuah kantong gelap, kemudian meminta seorang untuk mengambil 7 kelereng
dalam kantong. Selanjutnya siswa lain diminta untuk sisa kelereng dikantong dan
menghitungnya, tentu “13”. Barulah bertanya “ada berapa kelereng sebelum
diambil 7?”
Siswa diarahkan
menggabung kelereng yang diambil awal dan sisa setelah diambil. Mereka akan
menjawab jika jawabannya adalah 20.
Kesimpulan
Teori belajar sosial adalah suatu teori pembelajaran yang mengedepankan
tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan
situasi sosial. Sedangkan teori belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana
memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya. Tokoh dalam teori belajar sosial-humanistik, yaitu John Dewey, Herbert Thelen,
Gordon W. Allport, Kurt Lewin dan Carl R. Rogers.
Konsep dasar teori John Dewey adalah
konsep pragmatisme, Herbert Thelen konsep dasarnya pada pembelajaran kooperatif
(Cooperative Learning), Gordon W.
Allport mengenai kepribadian, Kurt Lewin mengenai medan kognitif dan Carl R.
Rogers lebih mengedepankan sifat humanis pada setiap individu.
Aplikasi masing-masing teori bisa
kita terapkan dalam pembelajaran, namun masing-masing teori juga memiliki
kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana pendidik menggunakan masing-masing
teori itu dalam pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwisol. (2004). Psikologi Kepribadian. Malang : UMM
Press
Calvin S. Hall & Gardner Lindsey. (1993).
Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik - Fenomenologis).
Yogyakarta
Dalyono, M. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Dewey,
John. (1916). Democracy and
Education. New York: Macmillan, Originally Published.
Freist, J & Freist, Gregory (1998), Theories of
Personality, Amerika : Mc Graw Hill.
Hall, Calvin S., & Lindzey, Gardner (2000),
Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), Dr. A. Supratiknya (ed.),
Jogjakarta :Kanisius .
Holil,
Anwar. (2008). Metode Pengajaran John
Dewey. Tersedia di laman http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/metode-pengajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 18
Maret 2015.
http://athiekdungmuth.files.wordpress.com/2012/06/teori-medan.docx
http://blog.ub.ac.id/azzuranajmieft/
http://Carl%20Rogers%20//%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.html
http://Etika%20dan%20Kepribadian.html
http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.com/2012/05/teori-belajar-medan-kognitif-karya-kurt.html
http://novinasuprobo.wordpress.com/2008/06/15/teori-belajar-humanistik/.
15 Juni 2008
http://wmegawati.blogspot.com/2013/12/teori-belajar-kognitif.html
Joyce
dan Weil. (1980). Model of Teaching.
Engalewood Cliffs. New Jersey: Prientice-Hall.
Krismanto.
(2003). Beberapa Teknik, Model, dan
Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Pusat Pengembangan
Penataran Guru Matematika.
Nasution, S. (1982). Berbagai Pendekatan dalam
Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara.
Noergayya,
Just Wear. (2012). Teori Belajar John
Dewey. Tersedia di laman http://justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 18
Maret 2015.
Purnawati, Dewi.
(2011). Teori Belajar John Dewey. Tersedia
di laman http://dewipurnawati1.weebly.com/4/post/2011/05/teori-belajar-john-dewey.html.
Di akses pada tanggal 18 Maret 2015.
Prawira, P. Atmaja.
(2012). Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru.
Jakarta: Ar-Ruzz Media
Robert, Thomas B., Four Psychologies Applied to
Education, 1975, New York, Hals Ted Press Dvision
Sarlito Sarwono. (2002). Berkenalan dengan
aliran-aliran dan tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Schultz, Duane. (1991). Psikologi Pertumbuhan: Model
– Model Kepribadian Sehat. Jogjakarta: Kanisius,.
Sukamto,
Tuti. & Winataputra, Udin S. (1994). Teori
Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka
Supandi.
(2005). Penerapan Pembelajaran Kooperatif
dengan Metode GI untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas X SMAN 2 Trawas Mojokerto. Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Thobroni.
(2015).
Belajar dan Pembelajaran: Teori
dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz
Media